Dokumen Pribadi
Kenangan yang hadir begitu menyakitkan, kalian tau? Bahkan rasa sakitnya terasa nyata, seperti ada yang meremas jantung dari dalam tubuhku. Nafasku tak lagi beraturan. Aku mencoba menghela nafas, dan gagal. Tuhan, ini sakit sekali.
Rasanya aku ingin menangis, seperti hari itu. Di hadapan mereka. Menuntut agar apabila segala sesuatu yang salah dibicarakan, tidak dengan cara sarkas dan menyingkirkanku di pojokan.
Rasanya aku ingin menangis, seperti hari itu. Di hadapan mereka. Menuntut agar apabila segala sesuatu yang salah dibicarakan, tidak dengan cara sarkas dan menyingkirkanku di pojokan.
Aku menghela nafas. Aku mencoba mencari alasan yang logis. Dari kondisi yang dulu. Supaya kedepannya, aku tidak lagi dihantui perasaan tidak nyaman ini. Supaya aku memahami dan mengerti.
Kenapa?
Apa?
Kenapa?
Apa?
Satu.
Manusia, tidak bisa menerima saat harga dirinya terluka (ego) dan itu yang membuatnya akan sulit memaafkan.
Manusia, tidak bisa menerima saat harga dirinya terluka (ego) dan itu yang membuatnya akan sulit memaafkan.
Dari kemungkinan pertama, aku akan terang membantahnya, aku mencoba menyelami hati dan tidak kutemukan sisa ego di sana.
Bukan itu penyebab rasa sesak ini.
Bukan itu penyebab rasa sesak ini.
Kemungkinan selanjutnya agak masuk akal.
Dampak yang ditimbulkan dari kejadian tempo hari--ini menjadi semakin rumit. Saat aku pikir semuanya telah membaik, namun ternyata aku tidak cukup baik membaca keadaan.
Dampak yang ditimbulkan dari kejadian tempo hari--ini menjadi semakin rumit. Saat aku pikir semuanya telah membaik, namun ternyata aku tidak cukup baik membaca keadaan.
Implikasi dari hari yang lalu, terus mengalir hingga hari ini. Di depan kaca, aku menyadari, dan menghitung persentase kesalahanku. Lucu, bagaimana aku mulai menghitung kesalahan seperti pedagang kacang rebus.
Dan terus menjadi beban bagiku, karena aku begitu menyayanginya. Aku tidak bisa membagi rasa bersalah ini dengannya--kau tau? Yang sering dilakukan orang agar bebannya lebih ringan. Di saat yang bersamaan, aku marah.
"Kenapa kau tidak mempercayai aku?"
Yaaaah.. pertanyaan-petanyaan semacam itu.
Dan terus menjadi beban bagiku, karena aku begitu menyayanginya. Aku tidak bisa membagi rasa bersalah ini dengannya--kau tau? Yang sering dilakukan orang agar bebannya lebih ringan. Di saat yang bersamaan, aku marah.
"Kenapa kau tidak mempercayai aku?"
Yaaaah.. pertanyaan-petanyaan semacam itu.
Slide kembali menayangkan hari lalu. Jalanan berdebu, udara panas dan hati yang gelisah.
Andai saja hari-hari seperti itu tidak terjadi, akan berbedakah hari ini?
Bila sepotong lidah tidak seharusnya mengatakan sepatah kata yang memicu perselisihan. Akan bahagiakah cerita kami?
Bukan berarti kami tidak bahagia. Kami masih menjalin silaturahmi, dengan kecanggungan di sana dan sini. Pun sampai detik ini aku menyayanginya. Dia temanku, salah satu dari orang baik yang aku kenal dan ingin aku lindungi sebisaku.
Namun aku tau betul. Di hari yang telah berlalu itu, di tayangan slide yang semakin memudar digerus waktu. Ada endapan luka yang tersisa. Dari lidah yang bersuara. Menguarkan aroma yang aku harap di bawa angin menghilang selamanya.
Andai saja hari-hari seperti itu tidak terjadi, akan berbedakah hari ini?
Bila sepotong lidah tidak seharusnya mengatakan sepatah kata yang memicu perselisihan. Akan bahagiakah cerita kami?
Bukan berarti kami tidak bahagia. Kami masih menjalin silaturahmi, dengan kecanggungan di sana dan sini. Pun sampai detik ini aku menyayanginya. Dia temanku, salah satu dari orang baik yang aku kenal dan ingin aku lindungi sebisaku.
Namun aku tau betul. Di hari yang telah berlalu itu, di tayangan slide yang semakin memudar digerus waktu. Ada endapan luka yang tersisa. Dari lidah yang bersuara. Menguarkan aroma yang aku harap di bawa angin menghilang selamanya.
Lalu maaf? Sudahkah aku memaafkan? Akankah aku naif? Mengatakan telah memaafkan kendati masih merasakan sakit?
Aku sungguh telah memaafkan, aku berani sumpah.
Kemudian mengapa aku masih merasa sakit saat mengingatnya? Bisa kau bantu aku?
Mengapa?
Aku bukan tipikal pendendam. Amarahku memang kadang lepas kendali, tapi tidak sampai membenci.
Kenapa?
Sebuah tanya yang tidak mampu aku jawab sendiri.
Aku sungguh telah memaafkan, aku berani sumpah.
Kemudian mengapa aku masih merasa sakit saat mengingatnya? Bisa kau bantu aku?
Mengapa?
Aku bukan tipikal pendendam. Amarahku memang kadang lepas kendali, tapi tidak sampai membenci.
Kenapa?
Sebuah tanya yang tidak mampu aku jawab sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar