dokumen pribadi
Sorek Satu, namanya.
Dekat desa bernama Sorek Dua. Sebuah kota kecil milik kita. Tempat kita bernapas dan bermain.
Tadi aku melintasi jalan kota ini, dahulu jalannya belum begini, belum ada dua jalur. Jalan yang masih satu jalur itu kerap kita seberangi saat hendak membeli salalauak di seberang jalan. Sesudahnya kita membeli es tebu yang berjualan di depan sekolah kita. Salalauak dua ribu, es air tebu seribu rupiah. Genap tiga ribu.
Lalu dengan perut yang kita kira kenyang diisi beberapa butir salalauak, kita melanjutkan les bahasa inggris sore itu. Tidak hanya bahasa inggris bukan? ada juga bahasa indonesia. Guru kita mengajar mengajar menggunakan mistar dari kayu, apabila anggota tubuh terkena mistar kayu itu, bukan main sakitnya.
Dekat desa bernama Sorek Dua. Sebuah kota kecil milik kita. Tempat kita bernapas dan bermain.
Tadi aku melintasi jalan kota ini, dahulu jalannya belum begini, belum ada dua jalur. Jalan yang masih satu jalur itu kerap kita seberangi saat hendak membeli salalauak di seberang jalan. Sesudahnya kita membeli es tebu yang berjualan di depan sekolah kita. Salalauak dua ribu, es air tebu seribu rupiah. Genap tiga ribu.
Lalu dengan perut yang kita kira kenyang diisi beberapa butir salalauak, kita melanjutkan les bahasa inggris sore itu. Tidak hanya bahasa inggris bukan? ada juga bahasa indonesia. Guru kita mengajar mengajar menggunakan mistar dari kayu, apabila anggota tubuh terkena mistar kayu itu, bukan main sakitnya.
Aku melintasi sudut-sudut yang dijamah waktu. Ada kita bersama jutaan detik yang sudah singgah di sana. Sudut kita biasa makan bakso setiap Sabtu sepulang sekolah, kau biasa mentraktirku. Seusainya kita kembali mengendarai sepeda motor yang sekarang telah tiada. Kudengar kabar kau menjualnya.
Lalu ada sudut milik kita remaja yang masih linglung pada jati diri. Yang bagaimana? Yang seperti apa?
Kita mencoba ini dan itu, hal yang kita anggap keren pada masanya. Sekarang, saat kita kenang. Derai tawa pecah berhamburan. Meminjam istilah orang-orang; Alay.
Lalu ada sudut milik kita remaja yang masih linglung pada jati diri. Yang bagaimana? Yang seperti apa?
Kita mencoba ini dan itu, hal yang kita anggap keren pada masanya. Sekarang, saat kita kenang. Derai tawa pecah berhamburan. Meminjam istilah orang-orang; Alay.
Aku ceritakan satu dari amat banyak dari komposisi alay tersebut. Pergi ke ibukota kabupaten demi mendapat sedikit kesenangan.
Atau saat kita saling hantam, jambak dan tampar?
Ah, aku malu mengisahkannya di sini.
Atau saat kita saling hantam, jambak dan tampar?
Ah, aku malu mengisahkannya di sini.
Sampai kini, apabila kita kenang masa itu kita masih tertawa.
Masa-masa remaja yang berlumuran salah dan adrenalin.
Masa-masa remaja yang berlumuran salah dan adrenalin.
Kita ke rumahku, tak jauh dari kota kecil milik kita.
Rumahku sekarang sudah sedikit berubah. Tapi tentu aku masih ingat di mana ibu meletak sebatang kayu, saat aku terlambat pulang main. Tepat di beranda rumah. Di ruang kecil antara jendela dan pintu. Dan saat aku abai pada langit yang merangkak gelap sedari tadi. Ibu juga akan meneriaki dari jauh. Lamur kulihat sebab gelap, di tangan ibu terdapat ranting kecil. Aku tebak, itu ranting pohon jengkol. Kalian bisa mengira apa yang terjadi selanjutnya.
Rumahku sekarang sudah sedikit berubah. Tapi tentu aku masih ingat di mana ibu meletak sebatang kayu, saat aku terlambat pulang main. Tepat di beranda rumah. Di ruang kecil antara jendela dan pintu. Dan saat aku abai pada langit yang merangkak gelap sedari tadi. Ibu juga akan meneriaki dari jauh. Lamur kulihat sebab gelap, di tangan ibu terdapat ranting kecil. Aku tebak, itu ranting pohon jengkol. Kalian bisa mengira apa yang terjadi selanjutnya.
Namun, beberapa kali aku luput dari kayu dan jeweran ibu. Ketika ibu tak tau aku diam-diam pergi ke sungai kecil tak jauh dari rumah. Basah tubuh kita oleh cokelat tua air tanah gambut. Sepulang dari sungai. Tak kudapati sosok ibu. Beliau belum usai dari urusannya. Bukan main lega hatiku.
Oh, ya. Tadi aku melihat pengemudi becak yang kerap aku tumpangi seusai sekolah. Dulu, ketika ibu terlambat menjemputku, bapak itu yang mengantarku ke rumah, dan ia kadang tak mau jika kubayar. Ia banyak berubah. Dulu badannya segar. Kini, uban yang tumbuh segar menghiasi janggut dan kumisnya. Hatiku menghangat melihat wajah senjanya. Syukurlah, pikirku. Semoga Tuhan mencintainya dan keluarganya.
Seperti bapak pengemudi becak, kita sudah tua, walau tanpa keriput. Begitu juga kota kecil kita. Sejak rumah pertama berdiri di atasnya. Bedanya, kota kita kian hari kian bergaya. Katanya, ada campur tangan orang Cina. Ah, itu kan. Katanya.
Di kota kecil kita.
Jutaan peristiwa.
Jutaan tokoh yang menetap, singgah dan yang sudah berselimut tanah.
Kita betul menyadari, telah banyak yang berubah.
Aku menyukai kota ini. Meski ada waktu-waktu porsinya tidak banyak.
Kota yang tidak begitu tenang.
Ruang pergi untuk pulang.
Aku menyukai kota ini. Meski ada waktu-waktu porsinya tidak banyak.
Kota yang tidak begitu tenang.
Ruang pergi untuk pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar