Senin, 26 Februari 2018
Galat
Di dekat tangga rumah, kau mencari-cari raut milik Hans, sekiranya jika ia bahagia maka akan kau hajar dan kau tenggelamkan dia di kolam milik Haji Sidin. Begitu bersua, kau mendapati wajah Hans yang tanpa ekspresi. Datar. Tidak ada senyum tertambat, tidak ada seringai puas, tidak ada air mata, raut kesal dan penyesalan.
Kau menatapku. Heran. Ada raut kebencian di sana.
Begitu banyak aroma kebahagiaan pada ruang tengah rumah kami, katamu. Aku begitu bahagia. Kebahagiaan yang sempurna. Terbias dari bibirku yang tak pernah luput dari tawa.
Tanyamu kepadaku. Sedang aku menanggapi rentetan pertanyaanmu yang seperti peluru lepas dari senapan itu, dengan menyuguhkan bisu.
Kau membayangkan aku, menggelinjang di tanah lalu terkapar tanpa nyawa.
Dengan belati bekas menggorok kerbau, dan darah yang masih menyisakan aroma amis, kau berjalan menuju pelaminan.
Laki-laki dan wanita berpakaian serba putih melepaskan tanganmu dari leherku.
Aku terbatuk dan berusaha bernafas.
Tanya salah seorang wanita berbaju putih di ruangan itu.
Membopong dan mengikatnya di kasur.
Ulang
Janji pulang yang diingkari
Lenyutku pada peron stasiun
Melihat lalu lalang manusia pulang
Rakus mengoyak tubuh boleh aku ulangi?
Malam mendekati tamam
Dan aku tak ingin pulang
Minggu, 25 Februari 2018
Bosan
Adakah karma yang bosan menyapa dosa?
Adakah hal di dunia yang tanpa karya sang pencipta?
Manusia punya karsa
Iblis punya karma
Adakah ikan berdosa?
Jika ia menolak mengenyangkan perut manusia?
Adakah ikan berdosa?
Saat bibirnya berdarah robek terkena kail manusia?
Nikmatnya jadi manusia
Dosanya tak kasat mata
Kamis, 22 Februari 2018
Kota Kecil Kita
Dekat desa bernama Sorek Dua. Sebuah kota kecil milik kita. Tempat kita bernapas dan bermain.
Tadi aku melintasi jalan kota ini, dahulu jalannya belum begini, belum ada dua jalur. Jalan yang masih satu jalur itu kerap kita seberangi saat hendak membeli salalauak di seberang jalan. Sesudahnya kita membeli es tebu yang berjualan di depan sekolah kita. Salalauak dua ribu, es air tebu seribu rupiah. Genap tiga ribu.
Lalu dengan perut yang kita kira kenyang diisi beberapa butir salalauak, kita melanjutkan les bahasa inggris sore itu. Tidak hanya bahasa inggris bukan? ada juga bahasa indonesia. Guru kita mengajar mengajar menggunakan mistar dari kayu, apabila anggota tubuh terkena mistar kayu itu, bukan main sakitnya.
Lalu ada sudut milik kita remaja yang masih linglung pada jati diri. Yang bagaimana? Yang seperti apa?
Kita mencoba ini dan itu, hal yang kita anggap keren pada masanya. Sekarang, saat kita kenang. Derai tawa pecah berhamburan. Meminjam istilah orang-orang; Alay.
Atau saat kita saling hantam, jambak dan tampar?
Ah, aku malu mengisahkannya di sini.
Masa-masa remaja yang berlumuran salah dan adrenalin.
Rumahku sekarang sudah sedikit berubah. Tapi tentu aku masih ingat di mana ibu meletak sebatang kayu, saat aku terlambat pulang main. Tepat di beranda rumah. Di ruang kecil antara jendela dan pintu. Dan saat aku abai pada langit yang merangkak gelap sedari tadi. Ibu juga akan meneriaki dari jauh. Lamur kulihat sebab gelap, di tangan ibu terdapat ranting kecil. Aku tebak, itu ranting pohon jengkol. Kalian bisa mengira apa yang terjadi selanjutnya.
Aku menyukai kota ini. Meski ada waktu-waktu porsinya tidak banyak.
Kota yang tidak begitu tenang.
Ruang pergi untuk pulang.
Minggu, 18 Februari 2018
Silap
Geger pedati
Runtuh karung-karung gabah milik petani
Wahai gawat
Langit kini beranjak gelap
Galat ladam yang tak lengkap
Sabtu, 17 Februari 2018
Maaf?
Rasanya aku ingin menangis, seperti hari itu. Di hadapan mereka. Menuntut agar apabila segala sesuatu yang salah dibicarakan, tidak dengan cara sarkas dan menyingkirkanku di pojokan.
Kenapa?
Apa?
Manusia, tidak bisa menerima saat harga dirinya terluka (ego) dan itu yang membuatnya akan sulit memaafkan.
Bukan itu penyebab rasa sesak ini.
Dampak yang ditimbulkan dari kejadian tempo hari--ini menjadi semakin rumit. Saat aku pikir semuanya telah membaik, namun ternyata aku tidak cukup baik membaca keadaan.
Dan terus menjadi beban bagiku, karena aku begitu menyayanginya. Aku tidak bisa membagi rasa bersalah ini dengannya--kau tau? Yang sering dilakukan orang agar bebannya lebih ringan. Di saat yang bersamaan, aku marah.
"Kenapa kau tidak mempercayai aku?"
Yaaaah.. pertanyaan-petanyaan semacam itu.
Andai saja hari-hari seperti itu tidak terjadi, akan berbedakah hari ini?
Bila sepotong lidah tidak seharusnya mengatakan sepatah kata yang memicu perselisihan. Akan bahagiakah cerita kami?
Bukan berarti kami tidak bahagia. Kami masih menjalin silaturahmi, dengan kecanggungan di sana dan sini. Pun sampai detik ini aku menyayanginya. Dia temanku, salah satu dari orang baik yang aku kenal dan ingin aku lindungi sebisaku.
Namun aku tau betul. Di hari yang telah berlalu itu, di tayangan slide yang semakin memudar digerus waktu. Ada endapan luka yang tersisa. Dari lidah yang bersuara. Menguarkan aroma yang aku harap di bawa angin menghilang selamanya.
Aku sungguh telah memaafkan, aku berani sumpah.
Kemudian mengapa aku masih merasa sakit saat mengingatnya? Bisa kau bantu aku?
Mengapa?
Aku bukan tipikal pendendam. Amarahku memang kadang lepas kendali, tapi tidak sampai membenci.
Kenapa?
Sebuah tanya yang tidak mampu aku jawab sendiri.
Jumat, 16 Februari 2018
Pinggir
Sampai kulihat dia di air keruh selokan dekat balai kota
Mencuci baju dan tubuh
Di bawah jilatan matahari
Sebab mereka asik di ruangan sejuk
Pedalaman desa abai mereka jenguk
Beberapa diantara mereka korban dari wafatnya para opsi
Bayangan mereka menguarkan kenyataan
Kamis, 15 Februari 2018
Kepada Nona
Jangan tarik ulur nona
Nanti benangmu putus
Kau akan repot memintal benang kusut
Taruh dulu mainanmu
Mari susuri balai kota dengan sepeda tua peninggalan ayahku
Lecet di bagian ini nona, kau tahu?
Berasal dari kencan pertama ayah dan ibuku
Seperti ayahku pada ibu
Aku pun menyukai rona malu di pipimu
Nona berkulit hitam berparas manis
Terima kasih 'tlah sudi menelan senja bersamaku hari ini
Jika di waktu yang akan datang sekiranya kau rela berbagi kepada kaum papa segantang beras yang kudapat tadi pagi
Mari
Kita menikah esok hari
Februari, 2018
Rabu, 14 Februari 2018
Dialog Rindu
DIALOG RINDU
Mana bisa kutakar
Mana yang lebih berat
Rindu milikku
Atau milikkmu
Disaksikan kipas angin, buku dan cangkir kosong
Aku menggugat
Untuk bertemu
Sudah pasti
Rinduku yang lebih berat
Senada nyanyian nyamuk
Terus saja menghantui pendengaran
Serupa virus di penghujan yang terus menggerogoti imunitas ragaku
Jarak merentang
Keterbatasan gerakku menghadang
Aku mau saja nekat
Tapi nanti tubuhku lebam
Aku dipecundangi ratusan kilometer yang dari awal sudah menang
Masihkah kau akan datang?
Ke wilayahku yang luluh lantak sebab kalah perang
Jarak hanya permainan ilusi tatap
Bukankah kita sudah belajar tentang ilusi jarak dan waktu
dari Adam dan Hawa
Mereka pun pernah merasakan kekalahan
Sebab tak digdaya menakhlukan rindu hingga temu
Begitu tabah
Seperti kolibri yang nektarnya dicuri
Kau berikan analogi kisah para nabi
Kau pasti sedang lelah
Pergilah
Aku tidak sudi dikasihani
Aku hanya melihat binar di matamu
Binar yang telah sembuh 'kan luka cinta
Terangnya melebihnya lampu-lampu
Dan layar besar yang pernah kulihat
Kisah patah-patah
Yg menguar dari lubang beraroma darah
Cinta itu bikin dungu
Seperti sekarang
Kau
Aku
Membunuh komoditas berharga yang kerap disapa waktu.
Dua kota, Februari 2018
Senin, 12 Februari 2018
Di Balik Foto
Ah sial! Aku kehilangan kata-kata lagi! Selalu seperti ini saat membicarakan tentangmu.
Terima kasih, untuk semua waktu yang terbuang.
Kamis, 08 Februari 2018
Mimpi Tadi Malam
Biar kuceritakan
Ada juga kolam ikan tenang.
Hei! Mana ikannya?
Dia sedang tenggelam katamu.
Itu aneh dan kupercaya
Tenang, tak kusalahkan kau dalam kebingunganku.
Rabu, 07 Februari 2018
Merdeka?
Manusia tanpa bilik-bilik rahasia. Dibakarnya sekat dan ia merdeka.
Orang-orang berdecak dan mengatakan
"Ah, dia orang gila"
Si gila yang merdeka.
Kadang. Ia duduk di kerumunan domba dan ia bercerita.
Ia bertanya-tanya pada domba, yang setiap ditanya memalingkan muka.
Sebenarnya, kapan maut itu akan tiba?
Sudah ditunggunya.
Hingga musim kemarau usai.
Sampai hujan basahi petak kebun kubis.
Tak juga si maut itu tiba.
Mungkin beberapa kemarau lagi
Ujarnya pada domba yang tengah asik mengunyah rumput itu.
Hingga dimusim yang menyusahkan selanjutnya. Maut tak juga sampai, bahkan berita tentangnya tak pernah ua dengar.
Ia telentang
Menentang
Tenang di kubangan.
Gambar: Muhammad Ihsan Yurin
Selasa, 06 Februari 2018
Selamat
Selamat!!!
Kepada temanku si Bunglon, A.K.A Patika Tri Muniarti. Dari kami bertiga (Nay, Aku, Patika) dia yang lebih dulu icip-icip "kursi panas" seminar proposal. Rasanya bangga. Seneng itu udah pasti. Hari ini Patika mengenakan seragam hitam-putih, dibombardir oleh pertanyaan oleh penguji dan siap melangkah ke tahap selanjutnya.
Aku kapan?
Yaa.. kalau nggak besok, ya besoknya lagi, haha.
Aku sedang berproses, walau dalam hati suka iri ngeliat teman yang hobi memajang sudah sejauh apa proses mereka.
"Ini ngapain, sih. Pamer banget."
Lalu setelahnya aku sadar. Rasa kesal tersebut hadir, karena ketidakmampuan aku berproses layaknya mereka.
Aku semangat!!
Jadi jika kalian mengira aku seharusnya dikasihani karena belum sejauh perjalanan kalian saat ini. Kalian salah!
Aku menikmati prosesku.
Minggu, 04 Februari 2018
Pergerakan
Aku tulisan surat kepada Tuhan.
Tapi nanti hingga akhir hayat. Aku tak mau hanya numpang bangun-berebut oksigen-lalu mati.
Aku sedang berupaya. Supaya darah dari nadi ke jantung, dan jantung ke nadi. Menjadi berarti.
"Bergerak ke mana aku hari ini?"
Sabtu, 03 Februari 2018
Diomelin
Kemarin aku sempat mau challenge untuk nulis tanpa jeda selama dua puluh hari. Pembelaanku? Aku sibuk haha. Dan Si pemberi tantangan ngambek.
Setelah dibujuk sedemikian rupa, akhirnya dia membaik kondisi hatinya, dengan catatan Nulisnya nambah 10 hari. Jadi 30 hari dari kesepakatan awal.
Oke, aku terima. Ini adalah resikoku karena kesibukan yang sebenarnya, nggak sibuk-sibuk banget. Haha.
Maaf
Untukmu yang telah kecewa
Terima kasih telah memberi kesempatan kedua
Tak akan,
Heii sini lihat aku!
Tak akan ku bikin lagi hatimu kecewa...