Senin, 26 Februari 2018

Jika

Galat

Gambar: Atar Abdullah

Mulut takdir ternganga, menguarkan aroma busuk kisah kita. Aromanya begitu busuk sehingga kau jatuh pingsan. Kau tebangun dua jam kemudian, kau tidak sendirian. Kau ditemani peluh yang melekat di batang leher dan dahimu yang tidak begitu luas.
Sudah dua jam lebih lima belas menit aku menemanimu di ruangan ini. Pengap bukan main. Namun aku mesti bertahan, pikirku.

Matamu nyalang menatapku. Sebelum suara itu keluar juga dari kerongkonganmu, setelah dua jam lima belas menit lamanya ruang pengap ini tidak disuguhi suara. Dua jam tidurmu, lima belas menit ruang canggung antara kita yang tanpa suara
"Aku mimpikan kau" katamu. Matamu yang sedari lahir disebut orang-orang mata elang, tajam menelusuri air wajahku yang kebingungan.
"Ada apa?" Tanyaku, masih dengan kebingungan pekat menyesakkan.
Kau mulai dengan cerita mimpimu. Katamu, aku dijodohkan dengan Hans, laki-laki bertubuh jangkung mirip pria asing. Laki-laki yang sama-sama kawan kita bermain dan memancing di kolam milik Haji Sidin.
Kau mengenyahkan peluh di dahi dengan sekali gerakan. Masih dengan cerita yang sama. Dalam mimpimu yang berdurasi hampir dua jam itu, kau mengisahkan bahwa aku tak menolak ataupun menerima perihal perjodohan dengan Hans. Di rumah panggung milikku, dalam bayanganmu, seluruh tetua adat berkumpul. Ninik mamak dari pihakku dan keluarga Hans yang tidak pernah kita tatap wajahnya turut hadir di pertemuan itu.

Di dekat tangga rumah, kau mencari-cari raut milik Hans, sekiranya jika ia bahagia maka akan kau hajar dan kau tenggelamkan dia di kolam milik Haji Sidin. Begitu bersua, kau mendapati wajah Hans yang tanpa ekspresi. Datar. Tidak ada senyum tertambat, tidak ada seringai puas, tidak ada air mata, raut kesal dan penyesalan.
Kau tiba-tiba menghentikan ceritamu.
"Ada apa? Tak ingin kau lanjutkan?"
Kau menatapku. Heran. Ada raut kebencian di sana.
"Dalam mimpiku, justru kau yang terlihat senang. Timah"
Kau berkata aku begitu bahagia. Ayah dan ibuku, entah kesekian kali ayah dan ibuku menepuk bahu Hans yang masih tanpa ekspresi itu.
Begitu banyak aroma kebahagiaan pada ruang tengah rumah kami, katamu. Aku begitu bahagia. Kebahagiaan yang sempurna. Terbias dari bibirku yang tak pernah luput dari tawa.
"Bukannya dulu kita berjanji akan menikah saat umur kita genap dua puluh? Tak ingatkah kau? Ya, kan? Kau mencintaiku bukan?"

Tanyamu kepadaku. Sedang aku menanggapi rentetan pertanyaanmu yang seperti peluru lepas dari senapan itu, dengan menyuguhkan bisu.
Kemudian, mungkin lelah pada bisuku, kau kembali bercerita. Kau bilang ada pesta. Tiga ekor kerbau disembelih. Kaulah si tukang sembelih, kau membayangkan kerbau itu adalah aku. Dendammu, yang tak suka demi melihat kebahagiaan di wajahku.
Kau membayangkan aku, menggelinjang di tanah lalu terkapar tanpa nyawa.

***

Kau menjenguk aku dan Hans di pelaminan kami. Paminan bernuansa kuning keemasan. Pelaminan terbaik masa ini. Yang mana hanya tuan-tuan tanah yang sanggup membelinya dari bandar yang jauh. Sebab keluarga Hans yang sanak familinya masih keturunan belanda, yang dihormati asisten wedana. Maka pelaminan serta biaya perhelatan ini pun hadiah dari asisten wedana itu
Aku melihatmu dari gemerlap keemasan pelaminan hadiah asisten wedana itu, katamu. Aku menyeringai, tatapanku masih melekat padamu saat aku memeluk tubuh Hans dan bersandar di bahunya.
Dengan belati bekas menggorok kerbau, dan darah yang masih menyisakan aroma amis, kau berjalan menuju pelaminan.
"Lalu apa yg kau lakukan, Haryoto?"
"Menghunus belati ke arahmu"
Tatapan matamu jauh lebih angker dari sebelumnya.
"Penghianaaat!!! Kau sundal bejat!!"
Aku kehilangan nafas.
Laki-laki dan wanita berpakaian serba putih melepaskan tanganmu  dari leherku.
Aku terbatuk dan berusaha bernafas.
"Nyonya, anda tak apa?"
Tanya salah seorang wanita berbaju putih di ruangan itu.
"Ya.. uhukk.." Jawabku singkat masih terbatuk.
"Hei, aku sudah bilang padamu, ini tak akan berhasil"
Hans, suamiku datang sembari membawa satu botol air mineral. Mengelus rambut dan mengecup kepalaku. Upaya menenangkanku yang sedemikian terkejut.
Haryoto, pria yang mencekikku demi melihat hal ini semakin mengamuk. Dua orang suster terpelanting. Ia datang ke arah aku dan suamiku.
"Kalian penghianat!! Dasar pelacur sialan! Kau! Hahaha... kau kawini pelacur ini hahaha.."
Aku merasa ngeri pada tengkuk, sebelum iba menyelinap tanpa izinku, seolah Haryoto tak pernah mencekikku.
Ia terduduk, menangis tergugu memegangi kaki tempat tidur. Dokter kemudian menyuntikan cairan penenang.
Membopong dan mengikatnya di kasur.
"Mari kita pulang, ini terakhir kita membantunya. Sudah tak ada harapan lagi. Dan aku tak mau kau terluka"
Hans mengamit tanganku menuju ke luar ruangan. Aku menungkupkan kepalaku di dadanya, berjalan menjauh dari tempat ini.   Tempat yang tak ingin ku datangi lagi.

Ulang

gambar: istimewa

Gemintang taburi malam
Janji pulang yang diingkari
Lenyutku pada peron stasiun
Melihat lalu lalang manusia pulang
Desir angin malam kian menggigit
Rakus mengoyak tubuh boleh aku ulangi?
Tiang-tiang ini begitu pendiam
Malam mendekati tamam
Dan aku tak ingin pulang
Boleh ku ulangi?
Pelalawan, Februari  2018

Minggu, 25 Februari 2018

Bosan

dokumen pribadi
Adakah air yang bosan menjelma laut?
Adakah karma yang bosan menyapa dosa?
Adakah hal di dunia yang tanpa karya sang pencipta?
Dia punya karya
Manusia punya karsa
Iblis punya karma
Aku ingin jadi ikan saja
Adakah ikan berdosa?
Jika ia menolak mengenyangkan  perut manusia?
Adakah ikan berdosa?
Saat bibirnya berdarah robek terkena kail manusia?
Aduhai
Nikmatnya jadi manusia
Dosanya tak kasat mata
Pelalawan, Februari 2018

Kamis, 22 Februari 2018

Kota Kecil Kita

dokumen pribadi

Sorek Satu, namanya.
Dekat desa bernama Sorek Dua. Sebuah kota kecil milik kita. Tempat kita bernapas dan bermain.
Tadi aku melintasi jalan kota ini, dahulu jalannya belum begini, belum ada dua jalur. Jalan yang masih satu jalur itu kerap kita seberangi saat hendak membeli salalauak di seberang jalan. Sesudahnya kita membeli es tebu yang berjualan di depan sekolah kita. Salalauak dua ribu, es air tebu seribu rupiah. Genap tiga ribu.

Lalu dengan perut yang kita kira kenyang diisi beberapa butir salalauak, kita melanjutkan les bahasa inggris sore itu. Tidak hanya bahasa inggris bukan? ada juga bahasa indonesia. Guru kita mengajar mengajar menggunakan mistar dari kayu, apabila anggota tubuh terkena mistar kayu itu, bukan main sakitnya.

Aku melintasi sudut-sudut yang dijamah waktu. Ada kita bersama jutaan detik yang sudah singgah di sana. Sudut kita biasa makan bakso setiap Sabtu sepulang sekolah, kau biasa mentraktirku. Seusainya kita kembali mengendarai sepeda motor yang sekarang telah tiada. Kudengar kabar kau menjualnya.
Lalu ada sudut milik kita remaja yang masih linglung pada jati diri. Yang bagaimana? Yang seperti apa?

Kita mencoba ini dan itu, hal yang kita anggap keren pada masanya. Sekarang, saat kita kenang. Derai tawa pecah berhamburan. Meminjam istilah orang-orang; Alay.
Aku ceritakan satu dari amat banyak dari komposisi alay tersebut. Pergi ke ibukota kabupaten demi mendapat sedikit kesenangan.
Atau saat kita saling hantam, jambak dan tampar?
Ah, aku malu mengisahkannya di sini.
Sampai kini, apabila kita kenang masa itu kita masih tertawa.
Masa-masa remaja yang berlumuran salah dan adrenalin.

Kita ke rumahku, tak jauh dari kota kecil milik kita.
Rumahku sekarang sudah sedikit berubah. Tapi tentu aku masih ingat di mana ibu meletak sebatang kayu, saat aku terlambat pulang main. Tepat di beranda rumah. Di ruang kecil antara jendela dan pintu. Dan saat aku abai pada langit yang merangkak gelap sedari tadi. Ibu juga akan meneriaki dari jauh. Lamur kulihat sebab gelap, di tangan ibu terdapat ranting kecil. Aku tebak, itu ranting pohon jengkol. Kalian bisa mengira apa yang terjadi selanjutnya.

Namun, beberapa kali aku luput dari kayu dan jeweran ibu. Ketika ibu tak tau aku diam-diam pergi ke sungai kecil tak jauh dari rumah. Basah tubuh kita oleh cokelat tua air tanah gambut. Sepulang dari sungai. Tak kudapati sosok ibu. Beliau belum usai dari urusannya. Bukan main lega hatiku.
Oh, ya. Tadi aku melihat pengemudi becak yang kerap aku tumpangi seusai sekolah. Dulu, ketika ibu terlambat menjemputku, bapak itu yang mengantarku ke rumah, dan ia kadang tak mau jika kubayar. Ia banyak berubah. Dulu badannya segar. Kini, uban yang tumbuh segar menghiasi janggut dan kumisnya. Hatiku menghangat melihat wajah senjanya. Syukurlah, pikirku. Semoga Tuhan mencintainya dan keluarganya.

Seperti bapak pengemudi becak, kita sudah tua, walau tanpa keriput. Begitu juga kota kecil kita. Sejak rumah pertama berdiri di atasnya. Bedanya, kota kita kian hari kian bergaya. Katanya, ada campur tangan orang Cina. Ah, itu kan. Katanya.
Di kota kecil kita.
Jutaan peristiwa.
Jutaan tokoh yang menetap, singgah dan yang sudah berselimut tanah.
Kita betul menyadari, telah banyak yang berubah.
Aku menyukai kota ini. Meski ada waktu-waktu porsinya tidak banyak.
Kota yang tidak begitu tenang.
Ruang pergi untuk pulang.

Minggu, 18 Februari 2018

Silap

dokumen pribadi


Ladam-ladam berkarat
Geger pedati
Runtuh karung-karung gabah milik petani
Wahai gawat
Langit kini beranjak gelap
Galat ladam yang tak lengkap
Pelalawan, Februari 2018

Sabtu, 17 Februari 2018

Maaf?

Dokumen  Pribadi

Malam ini, saat sedang menulis catatan yang membahagiakan. Aku terkenang beberapa slide yang ketika diputar, sangat menyakitkan. Aku kemudian kehilangan mood baik saat menulis catatan di buku harianku. Aku tidak ingin memberi "bumbu" yang akan mengurangi porsi bahagia dalam catatan di buku harian tadi.

Kenangan yang hadir begitu menyakitkan, kalian tau? Bahkan rasa sakitnya terasa nyata, seperti ada yang meremas jantung dari dalam tubuhku. Nafasku tak lagi beraturan. Aku mencoba menghela nafas, dan gagal. Tuhan, ini sakit sekali.

Rasanya aku ingin menangis, seperti hari itu. Di hadapan mereka. Menuntut agar apabila segala sesuatu yang salah dibicarakan, tidak dengan cara sarkas dan menyingkirkanku di pojokan.
Aku menghela nafas. Aku mencoba mencari alasan yang logis. Dari kondisi yang dulu. Supaya kedepannya, aku tidak lagi dihantui perasaan tidak nyaman ini. Supaya aku memahami dan mengerti.
Kenapa?
Apa?

Satu.
Manusia, tidak bisa menerima saat harga dirinya terluka (ego) dan itu yang membuatnya akan sulit memaafkan.
Dari kemungkinan pertama, aku akan terang membantahnya, aku mencoba menyelami hati dan tidak kutemukan sisa ego di sana.
Bukan itu penyebab rasa sesak ini.
Kemungkinan selanjutnya agak masuk akal.
Dampak yang ditimbulkan dari kejadian tempo hari--ini menjadi semakin rumit. Saat aku pikir semuanya telah membaik, namun ternyata aku tidak cukup baik membaca keadaan.
Implikasi dari hari yang lalu, terus mengalir hingga hari ini. Di depan kaca, aku menyadari, dan menghitung persentase kesalahanku. Lucu, bagaimana aku mulai menghitung kesalahan seperti pedagang kacang rebus. 
Dan terus menjadi beban bagiku, karena aku begitu menyayanginya. Aku tidak bisa membagi rasa bersalah ini dengannya--kau tau? Yang sering dilakukan orang agar bebannya lebih ringan. Di saat yang bersamaan, aku marah.
"Kenapa kau tidak mempercayai aku?"
Yaaaah.. pertanyaan-petanyaan semacam itu.


Slide kembali menayangkan hari lalu. Jalanan berdebu, udara panas dan hati yang gelisah.
Andai saja hari-hari seperti itu tidak terjadi, akan berbedakah hari ini?
Bila sepotong lidah tidak seharusnya mengatakan sepatah kata yang memicu perselisihan. Akan bahagiakah cerita kami?

Bukan berarti kami tidak bahagia. Kami masih menjalin silaturahmi, dengan kecanggungan di sana dan sini. Pun sampai detik ini aku menyayanginya. Dia temanku, salah satu dari orang baik yang aku kenal dan ingin aku lindungi sebisaku.

Namun aku tau betul. Di hari yang telah berlalu itu, di tayangan slide yang semakin memudar digerus waktu. Ada endapan luka yang tersisa. Dari lidah yang bersuara. Menguarkan aroma yang aku harap di bawa angin menghilang selamanya.

Lalu maaf? Sudahkah aku memaafkan? Akankah aku naif? Mengatakan telah memaafkan kendati masih merasakan sakit?
Aku sungguh telah memaafkan, aku berani sumpah.
Kemudian mengapa aku masih merasa sakit saat mengingatnya? Bisa kau bantu aku?
Mengapa?

Aku bukan tipikal pendendam. Amarahku memang kadang lepas kendali, tapi tidak sampai membenci.
Kenapa?
Sebuah tanya yang tidak mampu aku jawab sendiri.

Jumat, 16 Februari 2018

Pinggir

Aku pikir tak ada tunawisma di kotaku
Sampai kulihat dia di air keruh selokan dekat balai kota
Mencuci baju dan tubuh
Di bawah jilatan matahari
Mereka bilang tak ada orang miskin di provinsiku
Sebab mereka asik di ruangan sejuk
Pedalaman desa abai mereka jenguk
Aku pikir jadi anak jalanan itu pilihan
Beberapa diantara mereka korban dari wafatnya para opsi
Antara bertahan atau digilas bengisnya kehidupan
Bayangan mereka menguarkan kenyataan
Pelalawan,  Februari 2018

Kamis, 15 Februari 2018

Kepada Nona

Jangan tarik ulur nona
Nanti benangmu putus
Kau akan repot memintal benang kusut

Taruh dulu mainanmu
Mari susuri balai kota dengan sepeda tua peninggalan ayahku
Lecet di bagian ini nona, kau tahu?
Berasal dari kencan pertama ayah dan ibuku

Seperti ayahku pada ibu
Aku pun menyukai rona malu di pipimu

Nona berkulit hitam berparas manis
Terima kasih 'tlah sudi menelan senja bersamaku hari ini

Jika di waktu yang akan datang sekiranya kau rela berbagi kepada kaum papa segantang beras yang kudapat tadi pagi

Mari
Kita menikah esok hari

Februari, 2018

Rabu, 14 Februari 2018

Dialog Rindu

DIALOG RINDU

Mana bisa kutakar
Mana yang lebih berat
Rindu milikku
Atau milikkmu
Disaksikan kipas angin, buku dan cangkir kosong
Aku menggugat
Untuk bertemu

Sudah pasti
Rinduku yang lebih berat
Senada nyanyian nyamuk
Terus saja menghantui pendengaran
Serupa virus di penghujan yang terus menggerogoti imunitas ragaku

Jarak merentang
Keterbatasan gerakku menghadang
Aku mau saja nekat
Tapi nanti tubuhku lebam
Aku dipecundangi ratusan kilometer yang dari awal sudah menang
Masihkah kau akan datang?
Ke wilayahku yang luluh lantak sebab kalah perang

Jarak hanya permainan ilusi tatap
Bukankah kita sudah belajar tentang ilusi jarak dan waktu
dari Adam dan Hawa
Mereka pun pernah merasakan kekalahan
Sebab tak digdaya menakhlukan rindu hingga temu

Begitu tabah
Seperti kolibri yang nektarnya dicuri
Kau berikan analogi kisah para nabi
Kau pasti sedang lelah
Pergilah
Aku tidak sudi dikasihani

Aku hanya melihat binar di matamu
Binar yang telah sembuh 'kan luka cinta
Terangnya melebihnya lampu-lampu
Dan layar besar yang pernah kulihat

Kisah patah-patah
Yg menguar dari lubang beraroma darah
Cinta itu bikin dungu
Seperti sekarang
Kau
Aku
Membunuh komoditas berharga yang kerap disapa waktu.

Dua kota, Februari 2018

Senin, 12 Februari 2018

Di Balik Foto

Dokumen Pribadi

Di balik lensa aku membidik mereka mengandalkan cahaya. Di balik foto ini. Ternyata ada kamu yang diam-diam mengikuti. Mengamati dan menjagaku dari jauh. Seperti hari sebelum hari ini. Sepanjang malam aku bersandar di bahumu, maaf jika itu membuatmu terjaga sepanjang malam.
Ah sial! Aku kehilangan kata-kata lagi! Selalu seperti ini saat membicarakan tentangmu.
Terima kasih, untuk semua waktu yang terbuang.

Kamis, 08 Februari 2018

Mimpi Tadi Malam

Mimpi tadi malam
Biar kuceritakan
Banyak jenis tawa, dalam satu dipan bambu lusuh depan rumah.
Ada juga kolam ikan tenang.
Hei! Mana ikannya?
Dia sedang tenggelam katamu.
Itu aneh dan kupercaya
Tenang, tak kusalahkan kau dalam kebingunganku.
Lalu kita kembali bercakap, dan lupa. Ada rajuk di antara kita.
Pekanbaru, 2018
Gambar: istimewa

Rabu, 07 Februari 2018

Merdeka?

Manusia tanpa bilik-bilik rahasia. Dibakarnya sekat dan ia merdeka.

Orang-orang berdecak dan mengatakan
"Ah, dia orang gila"

Si gila yang merdeka.
Kadang. Ia duduk di kerumunan domba dan ia bercerita.
Ia bertanya-tanya pada domba, yang setiap ditanya memalingkan muka.
Sebenarnya, kapan maut itu akan tiba?

Sudah ditunggunya.
Hingga musim kemarau usai.
Sampai hujan basahi petak kebun kubis.
Tak juga si maut itu tiba.
Mungkin beberapa kemarau lagi

Ujarnya pada domba yang tengah asik mengunyah rumput itu.

Hingga dimusim  yang menyusahkan selanjutnya. Maut tak juga sampai, bahkan berita tentangnya tak pernah ua dengar.

Ia telentang
Menentang
Tenang di kubangan.

Gambar: Muhammad Ihsan Yurin

Selasa, 06 Februari 2018

Selamat

Selamat!!!
Kepada temanku si Bunglon, A.K.A Patika Tri Muniarti. Dari kami bertiga (Nay, Aku, Patika) dia yang lebih dulu icip-icip "kursi panas" seminar proposal. Rasanya bangga. Seneng itu udah pasti. Hari ini Patika mengenakan seragam hitam-putih, dibombardir oleh pertanyaan oleh penguji dan siap melangkah ke tahap selanjutnya.
Aku kapan?
Yaa.. kalau nggak besok, ya besoknya lagi, haha.
Aku sedang berproses, walau dalam hati suka iri ngeliat teman yang hobi memajang sudah sejauh apa proses mereka.

"Ini ngapain, sih. Pamer banget."
Lalu setelahnya aku sadar. Rasa kesal tersebut hadir, karena ketidakmampuan aku berproses layaknya mereka.

Aku semangat!!
Jadi jika kalian mengira aku seharusnya dikasihani karena belum sejauh perjalanan kalian saat ini. Kalian salah!
Aku menikmati prosesku.

Minggu, 04 Februari 2018

Pergerakan

Dengan ditemani dua ekor kucing dan nyamuk yang berdengung di telinga.
Aku tulisan surat kepada Tuhan.
Dear Tuhan, terima kasih telah menciptakan aku. Yang hingga pada detik ini belum mengetahui apa fungsiku di bumi.
Tapi nanti hingga akhir hayat. Aku tak mau hanya numpang bangun-berebut oksigen-lalu mati.
Aku sedang berupaya. Supaya darah dari nadi ke jantung, dan jantung ke nadi. Menjadi berarti.
Salam
Dari manusia yang selalu bingung.
"Bergerak ke mana aku hari ini?"

Sabtu, 03 Februari 2018

Diomelin

Kemarin aku sempat mau challenge untuk nulis tanpa jeda selama dua puluh hari. Pembelaanku? Aku sibuk haha. Dan Si pemberi tantangan ngambek.

Setelah dibujuk sedemikian rupa, akhirnya dia membaik kondisi hatinya, dengan catatan Nulisnya nambah 10 hari. Jadi 30 hari dari kesepakatan awal.
Oke, aku terima. Ini adalah resikoku karena kesibukan yang sebenarnya, nggak sibuk-sibuk banget. Haha.

Maaf
Untukmu yang telah kecewa
Terima kasih telah memberi kesempatan kedua
Tak akan,
Heii sini lihat aku!
Tak akan ku bikin lagi hatimu kecewa...