Kamis, 11 Oktober 2018

Kekhawatiran Seorang Mbak


Ya! Aku seorang mbak, anak pertama. Dari tiga adik yang lagi puber-pubernya. Maksudku, mereka masih penasaran dan takjub pada banyak hal baru.

Adik yang ke-dua misalnya. Sedang gemar-gemarnya bikin video disertai musik EDM atau musik yang tengah tinggi mengudara. Dan permasalahan serta kegelisahanku terletak pada si adik nomor tiga. Wanita dan baru masuk Esempe.

Saat kelas enam, aku mendapati pesan di kotak masuk media sosial Facebook miliknya. Sesaat sesudah membaca pesan tersebut aku terkejut, terdiam dan tiba-tiba mules.
Pesan-pesan dengan seorang anak laki-laki yang entah sudah "potong anu" atau belum itu bikin aku ngikik geli sekaligus was-was. Pasalnya, si anak laki-laki membahasakan dirinya dengan panggilan 'abang'. Aku terkejut, geli dan pingin nyolok lubang hidungnya.

Usut punya usut, ternyata si 'Abang' ini duduk di kelas lima, satu tingkat di bawah adikku. Jan jangkrik tenan! Si 'Abang' ini bernama Dian, kuselidiki akunnya. Kulihat poto profilnya. Seorang anak kurus berkulit cokelat yang agaknya swafoto tersebut diambil menggunakan Hape Merk Mito. Burem dan berembun.

Si Dian ini tak hanya memanggil dirinya dengan 'Abang' di room chat bersama adikku. Ia juga memanggil adikku "Sayang"

Ondeh, karambia!

Saat itu, sebagai mbak yang mencoba bijak aku tak lantas mengambil keputusan untuk menyidang adik nomor tiga ini. Aku takut langkah yang salah akan membuat hubungan kami tak lagi kondusif. Sebagai kakak, aku ingin jadi sosok yang bisa dijadikan tempat cerita, perihal pengalaman baik atau buruk yang ia alami. Dengan begitu, aku pikir, aku bisa tau bagaimana adikku, ia percaya kepadaku dan ada keputusan solutif untuknya. Sehingga harapanku ia tidak salah langkah.

Atas dasar itu aku menyelidiki Si Jangkrik Abang tadi. Mulai dari menyambangi sekolah adikku. Hingga bertanya kepada sumber terpercaya. Adik nomor empat yang juga satu sekolah dengan adik nomor tiga.

Identitas sudah di tangan. Dan pada waktu yang aku rasa tepat aku mencoba bicara pada si Adik.

"Dik, si anu itu udah punya pacar, ya?" Tanyaku membuka obrolan.

"Iya, Kak, semenjak punya pacar nilainya turun" jawabnya

"Sering curhat masalah pacarnya?" Tanyaku lagi.

"Iya,"

Ia melanjutkan, "Satu geng adik rata-rata punya pacar semua"

Nah lo! Dapat poinnya. Menurut analisaku, ia dan Dian dekat karena teman satu gengnya memiliki pacar. Dan sebagai teman yang kalau keluar main jajan es bareng tentulah di saat perjalanan menuju abang-abang es mereka membicarakan pacar mereka. Dan adikku harus memiliki pengalaman yang sama agar genre obrolan tetap sewarna.
Adikku bukan tipikal orang yang peduli, namun sebagai anak perempuan yang hendak remaja yang kerap takjub dan penasaran serta tak mau ketinggalan arus 'nggibahin pacar' ia pun menjajal dunia perpacaran.

Dan yang baru-baru ini terjadi. Ia berbalas pesan denganku via pesan instan hingga jam 11 malam. Tidak biasanya, sebab, jam 9 saja dia sudah mengambil kuda-kuda untuk tidur.

Aku curiga, dia sedang chat dengan teman dekat. Bisa laki-laki atau perempuan. Dunia memang tidak berputar di sekelilingku. Aku sadar hal itu. Hal yang aku lakukan saat tidur larut malam saat seusianya bisa saja berbeda dengan alasan dia saat ini. Namun tak bisa aku hindari, rasa takut tetap saja menyergap.

Rasa percaya amat penting, dulu, orang tuaku mengambil sikap keras ketika mengetahui aku dekat dengan laki-laki. Bahkan si Papa mengatakan telah menyewa temanku untuk mengawasi tindak tandukku di sekolah. Dulu aku percaya, sekarang aku tau itu hanya bualan semata menakut-nakutiku. Dan pada saat itu, alih-alih aku menghentikan ekplorasi terhadap dunia percinta-monyetan. Aku malah curiga terhadap setiap teman dekatku, serta membuat manuver yang lebih canggih agar tidak ketahuan. Sebenarnya jika benar menyewa temanku, alangkah bijaknya jika uang itu dialokasikan untuk penambahan uang belanja untukku. Mungkin saja, aku tidak akan fokus di dunia percinta-monyetan, mungkin saja aku akan fokus hmmm, foya-foya.

Yang aku saat ini berusaha menjadi kakak selo, agar dipercaya, supaya ia tetap bercerita dan aku tetap mengenalnya.

Aku takut ia berubah. Meski aku tau adikku pasti berubah. Aku takut ia menjadi asing.
Aku percaya padanya. Aku percaya ia mampu menjaga dirinya. Aku hanya tidak percaya pada dunia yang beredar di sekelilingnya.

Lur, butuh saran. Aku kudu piye?

Senin, 27 Agustus 2018

Tawa Lekat di Besi Berkarat

Bulan bundar
Bianglala berputar
Dopamin menguar
Malam itu sebenarnya tubuh kami telah cukup lelah. Otak kami sudah memvisualkan kasur untuk segera menghenyakkan badan melemaskan otot.
Namun cerita malam itu berubah, Ayun, temanku mengajakku ke pasar malam yang berlokasi tak jauh dari kontrakan kami.
Padahal kami sama-sama lelah. Ia pun sudah seharian beraktivitas di luar ruangan.
Sementara aku pun lelah. Lelah nggak ngapa-ngapain. Hahahhaa.
Setiba kami di pasar malam milik kelompok Lotare Bogor Jaya ini, kami duduk barang sebentar di warung kecil milik pedagang. Menyesap minuman cokelat yang manisnya over sugar.
Kami memang datang terlalu cepat, wahana-wahana belum banyak yg beroperasi. Hanya komidi putar untuk bocah-bocah yang aktif bergerak kala itu.
Sambil meminum cokelat kami kami sedikit bernostalgia. Tentang jaman SD dahulu. Ayun dan aku memang berasal dari Kabupaten yang sama. Kabupaten Pelalawan.
Kami bercerita, bagaimana dulu mengunjungi pasar malam adalah kebanggaan bagi anak desa yang belum mengenal gegap gempita gadget dan teknologi. Bagaimana tidak, dulu belum ada listrik yang mengaliri desa kami, hanya ada PLTD (pembangkit Listrik Tenaga Diesel) yang nyala pukul 18.00 dan padam pukul 12.00.
Bertolak ke pasar malam, menaiki wahana-wahana ialah kebanggaan absolut. Yang seusainya, kami bisa pamer kepada teman sebaya di sekolah esok hari. Bukan sembarang pasar malam. Pasar malam yang bergengsi adalah pasar malam yang memiliki wahana rumah hantu. Dan tingkat kekerenan akan berbanding lurus saat telah mencoba wahana tersebut.
Siapa yang memasuki wahana itu niscaya esoknya akan sesumbar, mengatakan mereka tidak takut barang secuil kuku.
Yaaa.
Mereka mengompol di dalam juga siapa tau?
***
Tidak merogoh kocek terlalu dalam, wahana di sini rata-rata seharga Rp.5000. Lebih murah dari uang pulsa dan minuman cokelat kami yang dibanderol Rp.8000. Gila! Nyari kesempatan banget, pikir kami.
Kami memutuskan untuk naik kora-kora. Bermodal uang Rp.5000 per orang kami naik wahana itu. Sengaja duduk paling ujung, katanya paling ujung ialah tempat yang paling mendebarkan.
Tidak ada safety belt. Pengaman juga hanya seadanya, cenderung tidak aman menurutku. Tempat duduk berkarat. Jelas tidak sehat. Belum lagi asap mesin diesel penggerak wahana itu yang meringsek masuk ke lubang hidung. Belum naik aku sudah mual.
Wahana mulai bergerak. Ke atas dan ke bawah. Adrenalin mulai bekerja. Kami berteriak. Semakin tinggi semakin kencang teriakkan kami.
Stress kami hari itu terbuang bersama suara yang kami bunyikan.
Tidak megah, jauh dari kesan mewah, tua dan berkarat.
Namun siapa nyana, lelah kami hilang sebentar malam itu. Barulah pada  malam harinya Ayun tidak bisa menggerakkan tangan karena nyeri pada kedua lengannya.
Namun kami pulang dalam keadaan bahagia. Sisa-sisa tawa dan nostalgia kami merekat pada besi berkarat Pasar Malam Lotare Bogor Jaya.

Minggu, 08 Juli 2018

Doa

doa adalah mantera
mempertebal harapan, mengisi ulang energi.
satu sasi lagi
masih ada satu sasi

sudah lebih dari satu sasi
sejak lumbung padi tanpa padi
kekeringan membasahi mata petani
anak-anak petani
istri-istri petani

kepala keluarga merapal doa
di masjid, vihara, kelenteng dan gereja
wanita menggumamkan harapan, sembari memetik cabai mengupas bawang

masih ada satu sasi lagi

Pekanbaru, 2018


Minggu, 01 Juli 2018

Preman

Aku seorang preman
Bukan inginkku jadi preman
Tapi ibu penjual ikan asin di pasar
Ibu penjual lobak, penjual cabai.
Selalu bilang aku preman
"Dasar preman,"  "emang preman"

Maka jadilah aku preman
Padahal ibuku
Waktu aku kecil selalu berdoa
Agar aku jadi guru

Pekanbaru, 2018

Selasa, 22 Mei 2018

Buat Kamu, Nih

Tulisan ini tentang dia, temanku.
Hai teman, kalau kamu baca, kamu pasti bakalan langsung sadar kalo ini buat kamu.

Aku tuh suka ngerasa minder ya.
Tapi di balik minder ini, aku suka kamu.
Suka senyum kamu, sabar kamu, dan lagi. Kamu lucu.

Kenapa ya? Aku baru sadar sekarang kalau kamu baik? Kenapa nggak pas dulu waktu kamu nyediain pundak buat aku tidur sampe ileran?
Dulu bahkan aku enggak ngeliat kamu sebagai laki-laki, atau teman.
Kayaknya ini balesannya. Dengan cara Tuhan bikin aku suka sama kamu. 
Sukanya pake banget.

Aku selalu suka dengan orang yang keberadaannya pernah aku abaikan.
Pas sama yang dulu juga gitu. Hehe.
Aku nolak dia sampe tiga kali, sebelum akhirnya aku terima dan malah lama banget move on dari dia.
Loh, kok malah cerita dia?
Kamu cemburu gak?
Kalau kamu cemburu itu bikin aku seneng.

Di awal, aku bilang kalau aku minder sama kamu.
Minder kalau kamu itu baik. Baik tiap orang itu relatif.
Dan buat aku, baiknya kamu itu sesuai porsi aku.
Banyak banget di luar sana orang baik. Tapi aku gak kenal, ada sih yang aku kenal.
Tapi gak sesuai porsi aku.
Dan kayaknya dia ndak suka aku. Hahahaha.

Saking baiknya kamu, aku sampe mikir. Apa alasan kamu mau temenan sama aku? Maksudku, berteman baik. Apa memang kamu baik ke semua orang? Aku juga nggak tau perihal itu.

Lama kelamaan aku jadi serakah. Aku jadi pengen 'lebih' padahal aku tau. Kalo kata Allah tuh, jodoh itu cerminan diri.
"Yang baik bakalan dapet yang baik"
Gitu yang aku sering denger.
Kalo kamu sama aku? Berarti aku beruntung dan kamu sial. Sebab, aku pikir. Kamu layak dapat yang lebih baik.
Aku apa sih?
Yaa ampun, andai kamu udah tau kelakuan aku. Nggak bakal kamu mau temenan sama aku.
Aku gampang emosian. Walau sekarang lagi belajar untuk sabar. Terus aku boros, aku. Aku...
Aku aja gak sanggup bilangin ke kamu.

Trus aku harus  bagaimana?
Aku suka ke kamu. Cuma aku sadar kok, kalo aku maksain berarti aku jadi egois.
Itu serem banget.

Tapi aku juga sedih, kalau suatu saat. Tuhan langsung ngasih visual
"Putri, dia bukan jodoh kamu"

Aku rindu kamu.
Nanti kalau kamu pulang. Kita ngobrol lagi. Becanda lagi.

Minggu, 15 April 2018

Pisah

doc pribadi

Kita berangan saat berdua dan yang lain sendirian.
Kita sejalan namun di tengah kemudi kita berlainan. Kita berpisah karena saling memahami.
Khatam untuk tidak lagi melukai.
Aku kemasi tenda, tas dan selimutku.
Aku simpan kehangatan yang sengaja kau berikan cuma-cuma padaku.
Kemasannya hati-hati akan kubuka saat aku kesepian dan dimusuhi dingin di antara pasukan edelweis.

Jumat, 30 Maret 2018

Hai

Hai, apa kabar?
Aku mau tanya?
Apa perasaan itu tetap sama.
Aku pikir, banyak yang berbeda, di aku. Dan di kamu juga.
Kalau kamu tanya kenapa aku beda, sebenarnya kamu tau jawabannya. Aku nggak lagi aku yang dulu. Yang kamu kenal. Yang suka mengekspresikan apapun yang dia rasain.
Aku yang sekarang banyak keragu-raguan. Dan aku nggak suka itu.
Kamu juga berubah, gak lagi sama.
Berbeda. Maksudku, bukan lagi orang yang dulu aku kenal. Perlahan seperti ada jurang diantara kita. Dan itu dalam.
Aku sampai ngilu membayangkannya.
Hai, aku tau kamu pasti sedih akan perubahanku. Begitu pula aku.
Tapi, kamu ga akan pernah tau. Kalau aku sedih. Aku yang sekarang pandai menyembunyikan perasaan.
Kalau kamu baca ini, aku pingin kamu tau, aku rindu. Rindu kita yang dahulu.
Aku sebenarnya pingin ngetik panjang lebar. Tapi aku capek dan ngantuk.
Selamat malam.

Rabu, 14 Maret 2018

Dialog Warung Kopi


Menghilangkan hakikat kopi.
Tak pekat sepekat rindu
Tak pahit sepahit cerita hidupku
Dengan susu atau rindu itu pilihanmu. Dengan lancang kau berfatwa, di hadapan kopi berwarna yang kau hina-hina. Kulihat kau seperti pria yang hanya memuja selaput dara.
Ku pesan kopi susu di kedai itu, tapi waktu datang tak terlihat seperti kopi bahkan susu, lebih terlihat minuman jus yang dulu dia anggap paling maknyus. Menghilangkan hakikat kopi yang ampasnya mengendap banyak dbawah, bukan di sekitar mulut penjaga kasir yang katanya mewah.
Sudi kau terima aku di mejamu? Kutunjukkan potret kabut pagi. Lalu pengemis tanpa gigi. Lalu perempuan loper koran yang kehausan. Ketimbang kau mencaci gelasmu, sini hibahkan untukku. Kerongkonganku sudah kering sejak tadi.
Tak apa ambillah gelas itu beserta isinya, tenggorokanku terlanjur muak dengan airnya. Aku lebih pilih beranjak pindah ke warung sebelah, mencari hakikat kopi yang secocok dengan hati, yang membuatku lebih mengerti, yangmembuatku mengusir sepi.
Sarkasmu, seperti kau akrab berdialog dengan kopi. Angkuhmu seakan ampas kopi tamam kau cumbui. Manusia semacam kau kerap aku tatap. Di Cerminku, lima tahun lalu.
Tak kusadari aku menghamba pada cangkir kopi, aku berdoa dalam seruputnya, dan aku bersyukur dalam habisnya. Entah otakku yang terlanjur terdoktrin oleh kafein itu, atau memang hakikatnya yang memang buatku candu.
Riau-Jogjakarta , 2018

Senin, 26 Februari 2018

Jika

Galat

Gambar: Atar Abdullah

Mulut takdir ternganga, menguarkan aroma busuk kisah kita. Aromanya begitu busuk sehingga kau jatuh pingsan. Kau tebangun dua jam kemudian, kau tidak sendirian. Kau ditemani peluh yang melekat di batang leher dan dahimu yang tidak begitu luas.
Sudah dua jam lebih lima belas menit aku menemanimu di ruangan ini. Pengap bukan main. Namun aku mesti bertahan, pikirku.

Matamu nyalang menatapku. Sebelum suara itu keluar juga dari kerongkonganmu, setelah dua jam lima belas menit lamanya ruang pengap ini tidak disuguhi suara. Dua jam tidurmu, lima belas menit ruang canggung antara kita yang tanpa suara
"Aku mimpikan kau" katamu. Matamu yang sedari lahir disebut orang-orang mata elang, tajam menelusuri air wajahku yang kebingungan.
"Ada apa?" Tanyaku, masih dengan kebingungan pekat menyesakkan.
Kau mulai dengan cerita mimpimu. Katamu, aku dijodohkan dengan Hans, laki-laki bertubuh jangkung mirip pria asing. Laki-laki yang sama-sama kawan kita bermain dan memancing di kolam milik Haji Sidin.
Kau mengenyahkan peluh di dahi dengan sekali gerakan. Masih dengan cerita yang sama. Dalam mimpimu yang berdurasi hampir dua jam itu, kau mengisahkan bahwa aku tak menolak ataupun menerima perihal perjodohan dengan Hans. Di rumah panggung milikku, dalam bayanganmu, seluruh tetua adat berkumpul. Ninik mamak dari pihakku dan keluarga Hans yang tidak pernah kita tatap wajahnya turut hadir di pertemuan itu.

Di dekat tangga rumah, kau mencari-cari raut milik Hans, sekiranya jika ia bahagia maka akan kau hajar dan kau tenggelamkan dia di kolam milik Haji Sidin. Begitu bersua, kau mendapati wajah Hans yang tanpa ekspresi. Datar. Tidak ada senyum tertambat, tidak ada seringai puas, tidak ada air mata, raut kesal dan penyesalan.
Kau tiba-tiba menghentikan ceritamu.
"Ada apa? Tak ingin kau lanjutkan?"
Kau menatapku. Heran. Ada raut kebencian di sana.
"Dalam mimpiku, justru kau yang terlihat senang. Timah"
Kau berkata aku begitu bahagia. Ayah dan ibuku, entah kesekian kali ayah dan ibuku menepuk bahu Hans yang masih tanpa ekspresi itu.
Begitu banyak aroma kebahagiaan pada ruang tengah rumah kami, katamu. Aku begitu bahagia. Kebahagiaan yang sempurna. Terbias dari bibirku yang tak pernah luput dari tawa.
"Bukannya dulu kita berjanji akan menikah saat umur kita genap dua puluh? Tak ingatkah kau? Ya, kan? Kau mencintaiku bukan?"

Tanyamu kepadaku. Sedang aku menanggapi rentetan pertanyaanmu yang seperti peluru lepas dari senapan itu, dengan menyuguhkan bisu.
Kemudian, mungkin lelah pada bisuku, kau kembali bercerita. Kau bilang ada pesta. Tiga ekor kerbau disembelih. Kaulah si tukang sembelih, kau membayangkan kerbau itu adalah aku. Dendammu, yang tak suka demi melihat kebahagiaan di wajahku.
Kau membayangkan aku, menggelinjang di tanah lalu terkapar tanpa nyawa.

***

Kau menjenguk aku dan Hans di pelaminan kami. Paminan bernuansa kuning keemasan. Pelaminan terbaik masa ini. Yang mana hanya tuan-tuan tanah yang sanggup membelinya dari bandar yang jauh. Sebab keluarga Hans yang sanak familinya masih keturunan belanda, yang dihormati asisten wedana. Maka pelaminan serta biaya perhelatan ini pun hadiah dari asisten wedana itu
Aku melihatmu dari gemerlap keemasan pelaminan hadiah asisten wedana itu, katamu. Aku menyeringai, tatapanku masih melekat padamu saat aku memeluk tubuh Hans dan bersandar di bahunya.
Dengan belati bekas menggorok kerbau, dan darah yang masih menyisakan aroma amis, kau berjalan menuju pelaminan.
"Lalu apa yg kau lakukan, Haryoto?"
"Menghunus belati ke arahmu"
Tatapan matamu jauh lebih angker dari sebelumnya.
"Penghianaaat!!! Kau sundal bejat!!"
Aku kehilangan nafas.
Laki-laki dan wanita berpakaian serba putih melepaskan tanganmu  dari leherku.
Aku terbatuk dan berusaha bernafas.
"Nyonya, anda tak apa?"
Tanya salah seorang wanita berbaju putih di ruangan itu.
"Ya.. uhukk.." Jawabku singkat masih terbatuk.
"Hei, aku sudah bilang padamu, ini tak akan berhasil"
Hans, suamiku datang sembari membawa satu botol air mineral. Mengelus rambut dan mengecup kepalaku. Upaya menenangkanku yang sedemikian terkejut.
Haryoto, pria yang mencekikku demi melihat hal ini semakin mengamuk. Dua orang suster terpelanting. Ia datang ke arah aku dan suamiku.
"Kalian penghianat!! Dasar pelacur sialan! Kau! Hahaha... kau kawini pelacur ini hahaha.."
Aku merasa ngeri pada tengkuk, sebelum iba menyelinap tanpa izinku, seolah Haryoto tak pernah mencekikku.
Ia terduduk, menangis tergugu memegangi kaki tempat tidur. Dokter kemudian menyuntikan cairan penenang.
Membopong dan mengikatnya di kasur.
"Mari kita pulang, ini terakhir kita membantunya. Sudah tak ada harapan lagi. Dan aku tak mau kau terluka"
Hans mengamit tanganku menuju ke luar ruangan. Aku menungkupkan kepalaku di dadanya, berjalan menjauh dari tempat ini.   Tempat yang tak ingin ku datangi lagi.

Ulang

gambar: istimewa

Gemintang taburi malam
Janji pulang yang diingkari
Lenyutku pada peron stasiun
Melihat lalu lalang manusia pulang
Desir angin malam kian menggigit
Rakus mengoyak tubuh boleh aku ulangi?
Tiang-tiang ini begitu pendiam
Malam mendekati tamam
Dan aku tak ingin pulang
Boleh ku ulangi?
Pelalawan, Februari  2018

Minggu, 25 Februari 2018

Bosan

dokumen pribadi
Adakah air yang bosan menjelma laut?
Adakah karma yang bosan menyapa dosa?
Adakah hal di dunia yang tanpa karya sang pencipta?
Dia punya karya
Manusia punya karsa
Iblis punya karma
Aku ingin jadi ikan saja
Adakah ikan berdosa?
Jika ia menolak mengenyangkan  perut manusia?
Adakah ikan berdosa?
Saat bibirnya berdarah robek terkena kail manusia?
Aduhai
Nikmatnya jadi manusia
Dosanya tak kasat mata
Pelalawan, Februari 2018

Kamis, 22 Februari 2018

Kota Kecil Kita

dokumen pribadi

Sorek Satu, namanya.
Dekat desa bernama Sorek Dua. Sebuah kota kecil milik kita. Tempat kita bernapas dan bermain.
Tadi aku melintasi jalan kota ini, dahulu jalannya belum begini, belum ada dua jalur. Jalan yang masih satu jalur itu kerap kita seberangi saat hendak membeli salalauak di seberang jalan. Sesudahnya kita membeli es tebu yang berjualan di depan sekolah kita. Salalauak dua ribu, es air tebu seribu rupiah. Genap tiga ribu.

Lalu dengan perut yang kita kira kenyang diisi beberapa butir salalauak, kita melanjutkan les bahasa inggris sore itu. Tidak hanya bahasa inggris bukan? ada juga bahasa indonesia. Guru kita mengajar mengajar menggunakan mistar dari kayu, apabila anggota tubuh terkena mistar kayu itu, bukan main sakitnya.

Aku melintasi sudut-sudut yang dijamah waktu. Ada kita bersama jutaan detik yang sudah singgah di sana. Sudut kita biasa makan bakso setiap Sabtu sepulang sekolah, kau biasa mentraktirku. Seusainya kita kembali mengendarai sepeda motor yang sekarang telah tiada. Kudengar kabar kau menjualnya.
Lalu ada sudut milik kita remaja yang masih linglung pada jati diri. Yang bagaimana? Yang seperti apa?

Kita mencoba ini dan itu, hal yang kita anggap keren pada masanya. Sekarang, saat kita kenang. Derai tawa pecah berhamburan. Meminjam istilah orang-orang; Alay.
Aku ceritakan satu dari amat banyak dari komposisi alay tersebut. Pergi ke ibukota kabupaten demi mendapat sedikit kesenangan.
Atau saat kita saling hantam, jambak dan tampar?
Ah, aku malu mengisahkannya di sini.
Sampai kini, apabila kita kenang masa itu kita masih tertawa.
Masa-masa remaja yang berlumuran salah dan adrenalin.

Kita ke rumahku, tak jauh dari kota kecil milik kita.
Rumahku sekarang sudah sedikit berubah. Tapi tentu aku masih ingat di mana ibu meletak sebatang kayu, saat aku terlambat pulang main. Tepat di beranda rumah. Di ruang kecil antara jendela dan pintu. Dan saat aku abai pada langit yang merangkak gelap sedari tadi. Ibu juga akan meneriaki dari jauh. Lamur kulihat sebab gelap, di tangan ibu terdapat ranting kecil. Aku tebak, itu ranting pohon jengkol. Kalian bisa mengira apa yang terjadi selanjutnya.

Namun, beberapa kali aku luput dari kayu dan jeweran ibu. Ketika ibu tak tau aku diam-diam pergi ke sungai kecil tak jauh dari rumah. Basah tubuh kita oleh cokelat tua air tanah gambut. Sepulang dari sungai. Tak kudapati sosok ibu. Beliau belum usai dari urusannya. Bukan main lega hatiku.
Oh, ya. Tadi aku melihat pengemudi becak yang kerap aku tumpangi seusai sekolah. Dulu, ketika ibu terlambat menjemputku, bapak itu yang mengantarku ke rumah, dan ia kadang tak mau jika kubayar. Ia banyak berubah. Dulu badannya segar. Kini, uban yang tumbuh segar menghiasi janggut dan kumisnya. Hatiku menghangat melihat wajah senjanya. Syukurlah, pikirku. Semoga Tuhan mencintainya dan keluarganya.

Seperti bapak pengemudi becak, kita sudah tua, walau tanpa keriput. Begitu juga kota kecil kita. Sejak rumah pertama berdiri di atasnya. Bedanya, kota kita kian hari kian bergaya. Katanya, ada campur tangan orang Cina. Ah, itu kan. Katanya.
Di kota kecil kita.
Jutaan peristiwa.
Jutaan tokoh yang menetap, singgah dan yang sudah berselimut tanah.
Kita betul menyadari, telah banyak yang berubah.
Aku menyukai kota ini. Meski ada waktu-waktu porsinya tidak banyak.
Kota yang tidak begitu tenang.
Ruang pergi untuk pulang.

Minggu, 18 Februari 2018

Silap

dokumen pribadi


Ladam-ladam berkarat
Geger pedati
Runtuh karung-karung gabah milik petani
Wahai gawat
Langit kini beranjak gelap
Galat ladam yang tak lengkap
Pelalawan, Februari 2018

Sabtu, 17 Februari 2018

Maaf?

Dokumen  Pribadi

Malam ini, saat sedang menulis catatan yang membahagiakan. Aku terkenang beberapa slide yang ketika diputar, sangat menyakitkan. Aku kemudian kehilangan mood baik saat menulis catatan di buku harianku. Aku tidak ingin memberi "bumbu" yang akan mengurangi porsi bahagia dalam catatan di buku harian tadi.

Kenangan yang hadir begitu menyakitkan, kalian tau? Bahkan rasa sakitnya terasa nyata, seperti ada yang meremas jantung dari dalam tubuhku. Nafasku tak lagi beraturan. Aku mencoba menghela nafas, dan gagal. Tuhan, ini sakit sekali.

Rasanya aku ingin menangis, seperti hari itu. Di hadapan mereka. Menuntut agar apabila segala sesuatu yang salah dibicarakan, tidak dengan cara sarkas dan menyingkirkanku di pojokan.
Aku menghela nafas. Aku mencoba mencari alasan yang logis. Dari kondisi yang dulu. Supaya kedepannya, aku tidak lagi dihantui perasaan tidak nyaman ini. Supaya aku memahami dan mengerti.
Kenapa?
Apa?

Satu.
Manusia, tidak bisa menerima saat harga dirinya terluka (ego) dan itu yang membuatnya akan sulit memaafkan.
Dari kemungkinan pertama, aku akan terang membantahnya, aku mencoba menyelami hati dan tidak kutemukan sisa ego di sana.
Bukan itu penyebab rasa sesak ini.
Kemungkinan selanjutnya agak masuk akal.
Dampak yang ditimbulkan dari kejadian tempo hari--ini menjadi semakin rumit. Saat aku pikir semuanya telah membaik, namun ternyata aku tidak cukup baik membaca keadaan.
Implikasi dari hari yang lalu, terus mengalir hingga hari ini. Di depan kaca, aku menyadari, dan menghitung persentase kesalahanku. Lucu, bagaimana aku mulai menghitung kesalahan seperti pedagang kacang rebus. 
Dan terus menjadi beban bagiku, karena aku begitu menyayanginya. Aku tidak bisa membagi rasa bersalah ini dengannya--kau tau? Yang sering dilakukan orang agar bebannya lebih ringan. Di saat yang bersamaan, aku marah.
"Kenapa kau tidak mempercayai aku?"
Yaaaah.. pertanyaan-petanyaan semacam itu.


Slide kembali menayangkan hari lalu. Jalanan berdebu, udara panas dan hati yang gelisah.
Andai saja hari-hari seperti itu tidak terjadi, akan berbedakah hari ini?
Bila sepotong lidah tidak seharusnya mengatakan sepatah kata yang memicu perselisihan. Akan bahagiakah cerita kami?

Bukan berarti kami tidak bahagia. Kami masih menjalin silaturahmi, dengan kecanggungan di sana dan sini. Pun sampai detik ini aku menyayanginya. Dia temanku, salah satu dari orang baik yang aku kenal dan ingin aku lindungi sebisaku.

Namun aku tau betul. Di hari yang telah berlalu itu, di tayangan slide yang semakin memudar digerus waktu. Ada endapan luka yang tersisa. Dari lidah yang bersuara. Menguarkan aroma yang aku harap di bawa angin menghilang selamanya.

Lalu maaf? Sudahkah aku memaafkan? Akankah aku naif? Mengatakan telah memaafkan kendati masih merasakan sakit?
Aku sungguh telah memaafkan, aku berani sumpah.
Kemudian mengapa aku masih merasa sakit saat mengingatnya? Bisa kau bantu aku?
Mengapa?

Aku bukan tipikal pendendam. Amarahku memang kadang lepas kendali, tapi tidak sampai membenci.
Kenapa?
Sebuah tanya yang tidak mampu aku jawab sendiri.

Jumat, 16 Februari 2018

Pinggir

Aku pikir tak ada tunawisma di kotaku
Sampai kulihat dia di air keruh selokan dekat balai kota
Mencuci baju dan tubuh
Di bawah jilatan matahari
Mereka bilang tak ada orang miskin di provinsiku
Sebab mereka asik di ruangan sejuk
Pedalaman desa abai mereka jenguk
Aku pikir jadi anak jalanan itu pilihan
Beberapa diantara mereka korban dari wafatnya para opsi
Antara bertahan atau digilas bengisnya kehidupan
Bayangan mereka menguarkan kenyataan
Pelalawan,  Februari 2018

Kamis, 15 Februari 2018

Kepada Nona

Jangan tarik ulur nona
Nanti benangmu putus
Kau akan repot memintal benang kusut

Taruh dulu mainanmu
Mari susuri balai kota dengan sepeda tua peninggalan ayahku
Lecet di bagian ini nona, kau tahu?
Berasal dari kencan pertama ayah dan ibuku

Seperti ayahku pada ibu
Aku pun menyukai rona malu di pipimu

Nona berkulit hitam berparas manis
Terima kasih 'tlah sudi menelan senja bersamaku hari ini

Jika di waktu yang akan datang sekiranya kau rela berbagi kepada kaum papa segantang beras yang kudapat tadi pagi

Mari
Kita menikah esok hari

Februari, 2018

Rabu, 14 Februari 2018

Dialog Rindu

DIALOG RINDU

Mana bisa kutakar
Mana yang lebih berat
Rindu milikku
Atau milikkmu
Disaksikan kipas angin, buku dan cangkir kosong
Aku menggugat
Untuk bertemu

Sudah pasti
Rinduku yang lebih berat
Senada nyanyian nyamuk
Terus saja menghantui pendengaran
Serupa virus di penghujan yang terus menggerogoti imunitas ragaku

Jarak merentang
Keterbatasan gerakku menghadang
Aku mau saja nekat
Tapi nanti tubuhku lebam
Aku dipecundangi ratusan kilometer yang dari awal sudah menang
Masihkah kau akan datang?
Ke wilayahku yang luluh lantak sebab kalah perang

Jarak hanya permainan ilusi tatap
Bukankah kita sudah belajar tentang ilusi jarak dan waktu
dari Adam dan Hawa
Mereka pun pernah merasakan kekalahan
Sebab tak digdaya menakhlukan rindu hingga temu

Begitu tabah
Seperti kolibri yang nektarnya dicuri
Kau berikan analogi kisah para nabi
Kau pasti sedang lelah
Pergilah
Aku tidak sudi dikasihani

Aku hanya melihat binar di matamu
Binar yang telah sembuh 'kan luka cinta
Terangnya melebihnya lampu-lampu
Dan layar besar yang pernah kulihat

Kisah patah-patah
Yg menguar dari lubang beraroma darah
Cinta itu bikin dungu
Seperti sekarang
Kau
Aku
Membunuh komoditas berharga yang kerap disapa waktu.

Dua kota, Februari 2018

Senin, 12 Februari 2018

Di Balik Foto

Dokumen Pribadi

Di balik lensa aku membidik mereka mengandalkan cahaya. Di balik foto ini. Ternyata ada kamu yang diam-diam mengikuti. Mengamati dan menjagaku dari jauh. Seperti hari sebelum hari ini. Sepanjang malam aku bersandar di bahumu, maaf jika itu membuatmu terjaga sepanjang malam.
Ah sial! Aku kehilangan kata-kata lagi! Selalu seperti ini saat membicarakan tentangmu.
Terima kasih, untuk semua waktu yang terbuang.

Kamis, 08 Februari 2018

Mimpi Tadi Malam

Mimpi tadi malam
Biar kuceritakan
Banyak jenis tawa, dalam satu dipan bambu lusuh depan rumah.
Ada juga kolam ikan tenang.
Hei! Mana ikannya?
Dia sedang tenggelam katamu.
Itu aneh dan kupercaya
Tenang, tak kusalahkan kau dalam kebingunganku.
Lalu kita kembali bercakap, dan lupa. Ada rajuk di antara kita.
Pekanbaru, 2018
Gambar: istimewa

Rabu, 07 Februari 2018

Merdeka?

Manusia tanpa bilik-bilik rahasia. Dibakarnya sekat dan ia merdeka.

Orang-orang berdecak dan mengatakan
"Ah, dia orang gila"

Si gila yang merdeka.
Kadang. Ia duduk di kerumunan domba dan ia bercerita.
Ia bertanya-tanya pada domba, yang setiap ditanya memalingkan muka.
Sebenarnya, kapan maut itu akan tiba?

Sudah ditunggunya.
Hingga musim kemarau usai.
Sampai hujan basahi petak kebun kubis.
Tak juga si maut itu tiba.
Mungkin beberapa kemarau lagi

Ujarnya pada domba yang tengah asik mengunyah rumput itu.

Hingga dimusim  yang menyusahkan selanjutnya. Maut tak juga sampai, bahkan berita tentangnya tak pernah ua dengar.

Ia telentang
Menentang
Tenang di kubangan.

Gambar: Muhammad Ihsan Yurin

Selasa, 06 Februari 2018

Selamat

Selamat!!!
Kepada temanku si Bunglon, A.K.A Patika Tri Muniarti. Dari kami bertiga (Nay, Aku, Patika) dia yang lebih dulu icip-icip "kursi panas" seminar proposal. Rasanya bangga. Seneng itu udah pasti. Hari ini Patika mengenakan seragam hitam-putih, dibombardir oleh pertanyaan oleh penguji dan siap melangkah ke tahap selanjutnya.
Aku kapan?
Yaa.. kalau nggak besok, ya besoknya lagi, haha.
Aku sedang berproses, walau dalam hati suka iri ngeliat teman yang hobi memajang sudah sejauh apa proses mereka.

"Ini ngapain, sih. Pamer banget."
Lalu setelahnya aku sadar. Rasa kesal tersebut hadir, karena ketidakmampuan aku berproses layaknya mereka.

Aku semangat!!
Jadi jika kalian mengira aku seharusnya dikasihani karena belum sejauh perjalanan kalian saat ini. Kalian salah!
Aku menikmati prosesku.

Minggu, 04 Februari 2018

Pergerakan

Dengan ditemani dua ekor kucing dan nyamuk yang berdengung di telinga.
Aku tulisan surat kepada Tuhan.
Dear Tuhan, terima kasih telah menciptakan aku. Yang hingga pada detik ini belum mengetahui apa fungsiku di bumi.
Tapi nanti hingga akhir hayat. Aku tak mau hanya numpang bangun-berebut oksigen-lalu mati.
Aku sedang berupaya. Supaya darah dari nadi ke jantung, dan jantung ke nadi. Menjadi berarti.
Salam
Dari manusia yang selalu bingung.
"Bergerak ke mana aku hari ini?"

Sabtu, 03 Februari 2018

Diomelin

Kemarin aku sempat mau challenge untuk nulis tanpa jeda selama dua puluh hari. Pembelaanku? Aku sibuk haha. Dan Si pemberi tantangan ngambek.

Setelah dibujuk sedemikian rupa, akhirnya dia membaik kondisi hatinya, dengan catatan Nulisnya nambah 10 hari. Jadi 30 hari dari kesepakatan awal.
Oke, aku terima. Ini adalah resikoku karena kesibukan yang sebenarnya, nggak sibuk-sibuk banget. Haha.

Maaf
Untukmu yang telah kecewa
Terima kasih telah memberi kesempatan kedua
Tak akan,
Heii sini lihat aku!
Tak akan ku bikin lagi hatimu kecewa...

Senin, 22 Januari 2018

Challenge

Beberapa minggu ke belakang salah satu teman aku yang nyeletuk.

"Put, coba deh challenge dalam semingu ke depan kamu nulis tanpa berhenti"

Well, aku pikir itu bukan ide yang buruk. Aku akan menambah harinya hingga dua puluh hari ke depan.
Dan akan dimulai besok!

Challenge menulis dua puluh hari tanpa jeda, dimulai!!

Kamis, 11 Januari 2018

Pindah (2)

Hari ini aku mengepak barangku. Aku akan pindah, bukan perkara aku tak lagi nyaman dengan kasurku yang sekarang , justru karena terlalu nyaman sehingga aku takut. Rasa nyaman malah menjadi ilusi dan menghambat pergerakan.
Aku takut nanti aku jadi malas. Refleksi dari situasi yang sudah-sudah. Terlalu nyaman hingga enggan bergerak.
Aku sedih. Banyak yang mesti ditinggalkan ada yang harus direlakan.
Saat aku sedang memasukkan baju ke dalam kardus. Baju yang sejatinya tidak lagi nyaman aku pakai tapi sesekali masih aku gunakan. Alasannya, sayang masih bisa dipakai. Kendati tak lagi nyaman. Ada yang sempit ada yang posisinya menggantung di tubuh sebab ukuran tubuh yang semakin berkembang.
Seiring dengan merekatkan lakban pada kardus berisi baju-baju tadi aku berpikir.
Hari ini aku keluar dari zona nyaman.
Serta melepas sisi-sisi tak nyaman yang melekat pada tubuh. Harusnya sejak lama ku buang.
Undur karena sayang.
Benar kata seseorang
Apa yang terjadi hari ini ialah akumulasi keputusan yang pernah diambil di hari yang telah lalu.

Minggu, 07 Januari 2018

Zona Nyaman

Aku takut nyaman
Sebab pindah
Sebab hilang
Kau ajak aku bertualang
Lekas beranjak sebelum nyaman
Kau kopi pahitku
Sadarkan lidahku
Ada banyak rasa di luar zona nyaman yang semesta tawarkan