Jumat, 12 Juni 2020

Sabda Kematian

                       sumber: Pinterest

Sebuah kematian di rumahku. sebuah mayat terbujur kaku di ruang dimana kau biasa bermain, membaca buku, bercengkrama, dan tertawa. Sekonyong-konyong warna biru, jingga, merah dan ungu berubah menjadi abu-abu. Kursi jati berwarna cokelat tua yang dibeli ayah dari pengrajin asal Jepara berubah menjadi abu-abu. Perkakas lainnya pun begitu. 

Kain jarik yang biasanya menjadi pengganti tali untuk permainan tarik tambang digunakan sebagai penutup mayit. Aku khawatir kain itu tiba-tiba bergerak dan mayatnya menjadi zombie.

Ah, sialan! Bagaimana aku bisa lupa, ini adalah rumahku ke empat adikku beserta kedua orangtuaku. Perlahan ketakutan merayapiku, ngilu menjalar dari tengkuk hingga ke setiap persendian tubuh. Aku melihat sekeliling, memeriksa siapakah yang tidak ada dalam anggota keluargaku yang artinya ia adalah si mayit di hadapanku ini. Aku mulai mencari ibu, pemilik badan ini tidak mungkin ibuku. Lihatlah ia tengah menangis meratapi ketiadaan eksistensi jiwa seseorang. Aku sedikit lega, walaupun tetap aneh ketika sedikit merasa lapang saat yang mati adalah anggota keluargamu.

Beberapa pelayat tampak bersimpati kepadaku. Ini aneh, daripada sedih sudah kukatakan tadi bahwa aku lebih merasakan takut sebab belum mengetahui siapa pemilik tubuh tanpa nyawa di hadapanku ini. 

Di ruangan ini tidak kulihat adik-adikku. Dengan langkah gemetar aku mencari ke setiap ruangan di rumah ini. Aku berjalan melewati potret berisikan tujuh orang. Seingatku masing-masing mengenakan batik dengan warna senada. Batik bali warna merah marun seandainya segala sesuatu tidak berwarna abu-abu seperti sekarang ini. Di potret itu ada aku, ibuku, ayahku, dan keempat adikku. 

Kini aku tengah berada di ruang makan, di atas meja makan kulihat banyak wadah berisikan beras yang kukira itu berasal dari para pelayat. Belum kutemukan satupun adik-adikku. 

Oh ya, belum kuberitakan padamu perihal adik-adikku. Aku memiliki empat orang adik dengan aku sebagai anak sulung rumah ini. Adik yang lahir setelahku adalah sepasang kembar lelaki dan perempuan, bernama Lintang dan Bumi Lintang si kakak perempuan dan Bumi lahir tidak lama setelah Lintang lahir.  Mereka berusia dua puluh tahun bulan Desember nanti. Berselang tiga tahun dari kelahiran mereka lahir seorang anak lelaki yang diberi nama Adimas Lintang Bumi. Dan si bungsu kesukaanku, si bungsu yang keras kepala namun sesungguhnya memiliki tabiat manja, Gadis. Begitu ibuku menamainya. 

Kepalaku kian pusing, badan kurasakan semakin dingin. Ketakutan akan kehilangan menghujam tubuh dan kejiwaan. Segera kumantapkan kaki menuju kamar ibu, hasilnya nihil. Hal yang sama kutemukan di kamar Lintang dan kamar Bumi, kosong. Aku melangkah ke kamar Adimas Bude dari pihak ibuku tengah menenangkan kedua adik kembarku. Adimas kulihat sedang bertelepon entah dengan siapa, ia sekilas memandangku lalu kembali fokus pada urusan telponnya, kudengar itu perkara kayu nisan. Aku kian pening namun kupaksakan menuju lantai dua kamar adik bungsu yang bersebelahan dengan kamarku. 

Anak tangga kutapaki dengan kepayahan segera aku menuju kamar Gadis. Tuhan tolong, kendati pada pencarianku aku tak pernah menemukan-Mu tolong biarkan aku percaya kalau Kau ada. Jangan Gadis! Jangan Gadis! Aku membuka pintu kamar dan mendapati Gadis tertidur dengan mata basah, entah saja mungkin ia pingsan aku kurang paham juga.

Aku lega, adikku bukan pemilik jasad di ruang keluarga itu. Lalu siapa? Apa ayahku? Kuharap, Ya. Aku amat membenci pria dengan pangkat terakhir dua bintang emas tersebut. Lihatlah sekarang ia asyik beramah tamah dengan pejabat kepolisian korup lainnya. Idealnya sebagai kepala rumah tangga ia mengurusi segala keperluan nisan dan bukan menjadi tanggung jawab Adimas.  

Ayahku amat kubenci. Kebencianku sudah meresap hingga partikel darah di badanku. Dari luar ia perwira tinggi yang begitu wibawa dan dihormati. Di rumah, bagiku ia iblis egois yang culas dan licik.  Kau, Tahu? Aku yakin kelak Adimas akan dimarahi jika salah memesan kayu nisan. Dan ibuku akan ditampar saat tidak bisa berhenti meratap dan membikin malu dirinya. Entahlah, kadang ia murka untuk alasan remeh dan tidak masuk akal. Itu satu alasan mengapa aku membencinya. Alasan lain mengapa aku enggak sumgkem saat hari raya ialah tumpukan kebencian saat ia menampar dan mendorong ibu ke tembok. Jika sudah kalap ibu sering babak belur. Dan bila sudah begitu, aku akan kesetanan menghancurkan apa saja demi membuat ia menghentikan perbuatannya. Aku memaki, mengatakan menyesal terlahir sebagai anaknya dan kalimat yang aku sendiri tak percaya itu lahir dari mulutku.

Nanti dulu, jika pecundang itu ada, lantas siapa tubuh tanpa nyawa di ruang keluarga? 

Aku bergegas menuju ruang keluarga, di sana aku melihat diriku. Ya! Itu tubuh pucat milikku. Kulihat wajah familiar yang sering kutatap di depan cermin pagi hari wajah itu kini beku dengan sedikit senyuman. 

Aku lega, benar-benar lega ternyata tubuh itu milikku.

2 komentar: