Alangkah mengerikan, saat aku menua di antara deru suara mesin mobil, knalpot motor yang bising. Saat hendak ke pasar masih harus menghirup udara karbon monoksida, sulfur dioksida dan zat beracun lainnya.
Saya bukan seseorang yang menerapkan pola hidup yang sehat sehat amat. Jika saya sedang stress berat, saya masif mengonsumsi nikotin, tar, benzopiren, fenol dan konon ribuan zat berbahaya yang terkandung dalam tembakau.
Aku benar-benar tidak cocok hidup di kota. Perkotaan membuatku stress dan ingin terus berlari dari kebisingan dan segala tuntutan. Begitu menyesakkan.
Tentu saja desa dan kota memiliki plus dan minusnya sendiri. Tergantung apa yang kau butuhkan. Jika kamu membutuhkan akses yang mudah di segala lini, sudah barang tentu kota adalah jawaban. Namun jika kamu ingin dipeluk kehangatan, bisa jadi desa adalah jawaban.
***
Ingatan awal masa kecilku begitu kesepian, aku diasuh oleh Oma. Oma ini adalah ibu dari ayahku. Oma tinggal di Pekayon, Bekasi Selatan.
Rutinitas masa kecilku saat di rumah Oma terbilang monoton, Pagi pergi sekolah diantar mobil jemputan, siang pulang lalu tidur siang, malam menonton televisi, makan malam lalu belajar dan yang paling aku benci. Meminum cairan ekstrak minyak ikan enggak enak bermerk dagang Scott's Emulsion. Rasanya benar-benar bikin trauma.
Oleh karenanya aku sering banget bikin eksperimen karena kebosananku. Masukim kaki ke jari-jari sepeda, kepala terjebak di pagar saat Maghrib dan semua percobaan iseng itu aku lakukan sendirian.
Sungguh beruntung mereka yang mengalami kekonyolan di masa kecil bersama teman mereka.
Sebenarnya aku punya sepupu yang mengunjungi Oma setiap akhir pekan. Namun, tetap saja rasanya kurang, layaknya anak kecil ia butuh teman sebaya lebih sering di sampingnya. Membagikan imajinasi yang enggak mungkin orang tua bisa pahami. Sementara aku? Boro-boro main sama teman, pulang dari TK Oma langsung merantai pagar plus dengan gembok.
Akhirnya aku menemukan oase saat aku pulang ke Riau. Di Riau, aku berkesempatan lebih banyak kabur walau mama enggak mengizinkan aku main. Aku akhirnya punya kenangan masa kecil penuh dengan debu, perang lumpur saat musim hujan, mandi ke sungai. Rasanya hangat hingga aku menulis ini.
***
Kalau dipikir-pikir, tinggal di desa memiliki privilese yang enggak ada di kota.
Di desa, kalian bisa saling bertukar lauk tanpa canggung dan rasa curiga. Kalian sakit? Oh jangan khawatir tidak makan. Walau bukan penganut komunisme, rasa welas asih akan menghantarkan berbagai jenis hasil bumi ke meja di dapur kalian.
Aku jadi ingat manakala aku KKN di Desa Kuala Keritang, kami siang itu kebingungan karena kehabisan bahan masakan untuk masak sore. Mungkin keluhan kami terdengar hingga rumah warga yang memang jarak rumahnya tidak sampai satu meter. Tak lama, kami diantar sayur dan pisang satu tandan. Bukan satu sisir tapi satu tandan!
Privilese lainnya ialah kamu enggak perlu sewa jasa katering kalau kamu bikin acara selamatan atau semacamnya, warga akan datang membantu segala prosesi mulai dari dekorasi hingga urusan dapur. Menariknya, tradisi masyarakat jawa saat menggelar hajatan, tetangga yang datang biasanya membawa telur, beras, minyak sayur, gula dan bahan sembako lainnya. Kami menyebutnya, rewang.
Sifat gotong royong ini memang tidak akan kamu temui di setiap desa. Terlebih modernisasi mulai merayap di tubuh-tubuh desa.
Biar begitu, aku tetap ingin hidup dan menua di desa. Mengamati tanaman di kebun bertumbuh. Didekap kehangatan desa hingga usai usia.
Selamat dan terima kasih, Doamu terkabul.. yep maybe its true, I'm the most annoying person in the world
BalasHapus