Minggu, 14 Juni 2020

Aku Ingin Hidup dan Menua di Desa

Alangkah mengerikan, saat aku menua di antara deru suara mesin mobil, knalpot motor yang bising. Saat hendak ke pasar masih harus menghirup udara karbon monoksida, sulfur dioksida dan zat beracun lainnya. 

Saya bukan seseorang yang menerapkan pola hidup yang sehat sehat amat. Jika saya sedang stress berat, saya masif mengonsumsi nikotin, tar, benzopiren, fenol dan konon ribuan zat berbahaya yang terkandung dalam tembakau. 

Aku benar-benar tidak cocok hidup di kota. Perkotaan membuatku stress dan ingin terus berlari dari kebisingan dan segala tuntutan. Begitu menyesakkan.

Tentu saja desa dan kota memiliki plus dan minusnya sendiri. Tergantung apa yang kau butuhkan. Jika kamu membutuhkan akses yang mudah di segala lini, sudah barang tentu kota adalah jawaban. Namun jika kamu ingin dipeluk kehangatan, bisa jadi desa adalah jawaban. 

***
Ingatan awal masa kecilku begitu kesepian, aku diasuh oleh Oma. Oma ini adalah ibu dari ayahku. Oma tinggal di Pekayon, Bekasi Selatan.

Rutinitas masa kecilku saat di rumah Oma terbilang monoton, Pagi pergi sekolah diantar mobil jemputan, siang pulang lalu tidur siang, malam menonton televisi, makan malam lalu belajar dan yang paling aku benci. Meminum cairan ekstrak minyak ikan enggak enak bermerk dagang Scott's Emulsion. Rasanya benar-benar bikin trauma.

Oleh karenanya aku sering banget bikin eksperimen karena kebosananku. Masukim kaki ke jari-jari sepeda, kepala terjebak di pagar saat Maghrib dan semua percobaan iseng itu aku lakukan sendirian. 

Sungguh beruntung mereka yang mengalami kekonyolan di masa kecil bersama teman mereka. 

Sebenarnya aku punya sepupu yang mengunjungi Oma setiap akhir pekan. Namun, tetap saja rasanya kurang, layaknya anak kecil ia butuh teman sebaya lebih sering di sampingnya. Membagikan imajinasi yang enggak mungkin orang tua bisa pahami. Sementara aku? Boro-boro main sama teman, pulang dari TK Oma langsung merantai pagar plus dengan gembok. 

Akhirnya aku menemukan oase saat aku pulang ke Riau. Di Riau, aku berkesempatan lebih banyak kabur walau mama enggak mengizinkan aku main. Aku akhirnya punya kenangan masa kecil penuh dengan debu, perang lumpur saat musim hujan, mandi ke sungai. Rasanya hangat hingga aku menulis ini. 

***

Kalau dipikir-pikir, tinggal di desa memiliki privilese yang enggak ada di kota. 

Di desa, kalian bisa saling bertukar lauk tanpa canggung dan rasa curiga. Kalian sakit? Oh jangan khawatir tidak makan. Walau bukan penganut komunisme, rasa welas asih akan menghantarkan berbagai jenis hasil bumi ke meja di dapur kalian. 

Aku jadi ingat manakala aku KKN di Desa Kuala Keritang, kami siang itu kebingungan karena kehabisan bahan masakan untuk masak sore. Mungkin keluhan kami terdengar hingga rumah warga yang memang jarak rumahnya tidak sampai satu meter. Tak lama, kami diantar sayur dan pisang satu tandan. Bukan satu sisir tapi satu tandan!

Privilese lainnya ialah kamu enggak perlu sewa jasa katering kalau kamu bikin acara selamatan atau semacamnya, warga akan datang membantu segala prosesi mulai dari dekorasi hingga urusan dapur. Menariknya, tradisi masyarakat jawa saat menggelar hajatan, tetangga yang datang biasanya membawa telur, beras, minyak sayur, gula dan bahan sembako lainnya. Kami menyebutnya, rewang.

Sifat gotong royong ini memang tidak akan kamu temui di setiap desa. Terlebih modernisasi mulai merayap di tubuh-tubuh desa. 

Biar begitu, aku tetap ingin hidup dan menua di desa. Mengamati tanaman di kebun bertumbuh. Didekap kehangatan desa hingga usai usia.


Sabtu, 13 Juni 2020

Haiku Pemalas


ganjil pikiran 
adil ditikam gada 
Novel Baswedan 

ganjil pikiran 
mulai beda haluan 
nahkoda tumbang

Indonesia
tanah surga katanya
kata siapa

hitam kulit
keriting rambut beta
dibunuh rezim 


Jumat, 12 Juni 2020

Sabda Kematian

                       sumber: Pinterest

Sebuah kematian di rumahku. sebuah mayat terbujur kaku di ruang dimana kau biasa bermain, membaca buku, bercengkrama, dan tertawa. Sekonyong-konyong warna biru, jingga, merah dan ungu berubah menjadi abu-abu. Kursi jati berwarna cokelat tua yang dibeli ayah dari pengrajin asal Jepara berubah menjadi abu-abu. Perkakas lainnya pun begitu. 

Kain jarik yang biasanya menjadi pengganti tali untuk permainan tarik tambang digunakan sebagai penutup mayit. Aku khawatir kain itu tiba-tiba bergerak dan mayatnya menjadi zombie.

Ah, sialan! Bagaimana aku bisa lupa, ini adalah rumahku ke empat adikku beserta kedua orangtuaku. Perlahan ketakutan merayapiku, ngilu menjalar dari tengkuk hingga ke setiap persendian tubuh. Aku melihat sekeliling, memeriksa siapakah yang tidak ada dalam anggota keluargaku yang artinya ia adalah si mayit di hadapanku ini. Aku mulai mencari ibu, pemilik badan ini tidak mungkin ibuku. Lihatlah ia tengah menangis meratapi ketiadaan eksistensi jiwa seseorang. Aku sedikit lega, walaupun tetap aneh ketika sedikit merasa lapang saat yang mati adalah anggota keluargamu.

Beberapa pelayat tampak bersimpati kepadaku. Ini aneh, daripada sedih sudah kukatakan tadi bahwa aku lebih merasakan takut sebab belum mengetahui siapa pemilik tubuh tanpa nyawa di hadapanku ini. 

Di ruangan ini tidak kulihat adik-adikku. Dengan langkah gemetar aku mencari ke setiap ruangan di rumah ini. Aku berjalan melewati potret berisikan tujuh orang. Seingatku masing-masing mengenakan batik dengan warna senada. Batik bali warna merah marun seandainya segala sesuatu tidak berwarna abu-abu seperti sekarang ini. Di potret itu ada aku, ibuku, ayahku, dan keempat adikku. 

Kini aku tengah berada di ruang makan, di atas meja makan kulihat banyak wadah berisikan beras yang kukira itu berasal dari para pelayat. Belum kutemukan satupun adik-adikku. 

Oh ya, belum kuberitakan padamu perihal adik-adikku. Aku memiliki empat orang adik dengan aku sebagai anak sulung rumah ini. Adik yang lahir setelahku adalah sepasang kembar lelaki dan perempuan, bernama Lintang dan Bumi Lintang si kakak perempuan dan Bumi lahir tidak lama setelah Lintang lahir.  Mereka berusia dua puluh tahun bulan Desember nanti. Berselang tiga tahun dari kelahiran mereka lahir seorang anak lelaki yang diberi nama Adimas Lintang Bumi. Dan si bungsu kesukaanku, si bungsu yang keras kepala namun sesungguhnya memiliki tabiat manja, Gadis. Begitu ibuku menamainya. 

Kepalaku kian pusing, badan kurasakan semakin dingin. Ketakutan akan kehilangan menghujam tubuh dan kejiwaan. Segera kumantapkan kaki menuju kamar ibu, hasilnya nihil. Hal yang sama kutemukan di kamar Lintang dan kamar Bumi, kosong. Aku melangkah ke kamar Adimas Bude dari pihak ibuku tengah menenangkan kedua adik kembarku. Adimas kulihat sedang bertelepon entah dengan siapa, ia sekilas memandangku lalu kembali fokus pada urusan telponnya, kudengar itu perkara kayu nisan. Aku kian pening namun kupaksakan menuju lantai dua kamar adik bungsu yang bersebelahan dengan kamarku. 

Anak tangga kutapaki dengan kepayahan segera aku menuju kamar Gadis. Tuhan tolong, kendati pada pencarianku aku tak pernah menemukan-Mu tolong biarkan aku percaya kalau Kau ada. Jangan Gadis! Jangan Gadis! Aku membuka pintu kamar dan mendapati Gadis tertidur dengan mata basah, entah saja mungkin ia pingsan aku kurang paham juga.

Aku lega, adikku bukan pemilik jasad di ruang keluarga itu. Lalu siapa? Apa ayahku? Kuharap, Ya. Aku amat membenci pria dengan pangkat terakhir dua bintang emas tersebut. Lihatlah sekarang ia asyik beramah tamah dengan pejabat kepolisian korup lainnya. Idealnya sebagai kepala rumah tangga ia mengurusi segala keperluan nisan dan bukan menjadi tanggung jawab Adimas.  

Ayahku amat kubenci. Kebencianku sudah meresap hingga partikel darah di badanku. Dari luar ia perwira tinggi yang begitu wibawa dan dihormati. Di rumah, bagiku ia iblis egois yang culas dan licik.  Kau, Tahu? Aku yakin kelak Adimas akan dimarahi jika salah memesan kayu nisan. Dan ibuku akan ditampar saat tidak bisa berhenti meratap dan membikin malu dirinya. Entahlah, kadang ia murka untuk alasan remeh dan tidak masuk akal. Itu satu alasan mengapa aku membencinya. Alasan lain mengapa aku enggak sumgkem saat hari raya ialah tumpukan kebencian saat ia menampar dan mendorong ibu ke tembok. Jika sudah kalap ibu sering babak belur. Dan bila sudah begitu, aku akan kesetanan menghancurkan apa saja demi membuat ia menghentikan perbuatannya. Aku memaki, mengatakan menyesal terlahir sebagai anaknya dan kalimat yang aku sendiri tak percaya itu lahir dari mulutku.

Nanti dulu, jika pecundang itu ada, lantas siapa tubuh tanpa nyawa di ruang keluarga? 

Aku bergegas menuju ruang keluarga, di sana aku melihat diriku. Ya! Itu tubuh pucat milikku. Kulihat wajah familiar yang sering kutatap di depan cermin pagi hari wajah itu kini beku dengan sedikit senyuman. 

Aku lega, benar-benar lega ternyata tubuh itu milikku.

Rabu, 10 Juni 2020

Hal Ini Aku Alami Setelah Lama Tidak Menulis

                      Gambar istimewa

Kembali merangkai frasa demi frasa setelah sekian lama enggak menulis, ternyata benar-benar bencana. Aku enggak pernah menyangka membuat satu tulisan akan semenyulitkan ini.

Suatu hari, aku yang tengah bersafari di status demi status di aplikasi WhatsApp kemudian aku melihat sebuah informasi, tulisan temanku naik di media komunitas daring yang sering aku baca. 

Insecure dong, pasti insecure dong ya...

Kendati aku insecure membandingkan diriku yang enggak produktif ini, aku sangat bangga terhadap pencapaian temanku. Aku kemudian mengirim pesan kepada  teman perempuan di kampusku, tujuannya satu, minta diajari untuk menulis kembali. Agar kembali produktif menulis dan menghempaskan segala rasa rendah diri sialan ini. Ternyata dia mengalami kegelisahan yang sama. Alih-alih diajari kami akhirnya sepakat melakukan tantangan 30 hari menulis, dimulai sejak tanggal 6 Juni.

Hal tersebut yang menjadi awal dari bencana yang tidak bisa diselamatkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Aku memikirkan beberapa topik yang akan aku kembangkan seharian ini, tetap saja hasilnya tidak sesuai keinginan.

Menemukan ide-menyalin di gawai-mengembangkan ide-tulis-hapus-mencari referensi-tulis-hapus-tulis lagi-hapus lagi. Hais!1 embuh! Djancuk raine hasuw!1 

Bencana ini menciptakan situasi absurd lain. Aku berharap  inspirasi datang dari secangkir kopi. Rasanya,aku sudah termakan strategi marketing dalam bentuk iklan. Meski kopi yang kuminum ialah kopi bubuk yang bahkan tidak ada iklannya. Aku bahkan sengaja jongkok di kamar mandi meski enggak lagi pengen buang air. Lagi-lagi demi mendapatkan inspirasi.

Seharian ini aku juga membaca hampir dua puluh artikel di media yang berbeda. Aku berharap, ada sesuatu yang mungkin bisa aku jadikan tulisan yang enak dibaca. Sayangnya, tetap saja enggak ada kata terlintas.

Menyiasati kebuntuan, aku melakukan meditasi, membayangkan berada di pedalaman hutan Kampar Kiri Hulu yang asri. Berada di pinggiran sungai mendengarkan gemericik air mengenai batu, suara satwa hutan yang indah. Kemudian saat meditasi selesai, aku memutuskan menuangkan keresahanku dalam bentuk tulisan.

Lama enggak nulis bikin aku gagap memulainya kembali. Tapi bukan berarti aku enggak bisa. Setiap hari hingga challenge ini selesai, bakal jadi hari-hari penuh proses yang aku pikir bakal enggak mudah. Dibanding berkompetisi dengan partnerku, 30 hari ke depan bakal jadi waktu untukku berproses melampaui diri sendiri.

Senin, 08 Juni 2020

Nilam

nilam  tak ada waktu bermain-main dengan bunga
sejak subuh diajak ibu menjadi buruh tanam 

mejeng malam minggu perkara nanti
tak sempat
nilam keburu dilamar kemiskinan sejak sebelum menstruasi

sekolah angan-angan mewah
jadi bahan lamunan pun segan ia lakukan

ibu berpesan agar tetap perawan
supaya paling tidak berjodohkan kerani 

lacur
selaput daranya robek oleh juragan sarmadi

buat beli gula juga kopi
kata sarmadi 

sudah kubilang
ia dilamar kemiskinan bahkan sebelum menstruasi

Juni, 2020

Minggu, 07 Juni 2020

Puasa Medsos Demi Kesehatan Mental


Siapa saja setuju bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) itu bikin depresi. Mulai dari enggak bisa nongkrong bareng teman, hingga pendapatan yang menyusut gila-gilaan. 

Media sosial kemudian jadi salah satu hiburan. Namun siapa nyana kalau media sosial yang harusnya jadi hiburan malah makin bikin depresi dan mental anxiety.

Pada kasusku, aku menyadari ada yang tidak baik pada jiwaku saat melihat konflik di mana-mana, kalimat bernada kebencian di media sosial.

Suatu hari, aku menangis sesenggukan karena merasa rendah diri. Pasalnya, melihat postingan pencapaian orang-orang terlalu sering saat diri sendiri belum menghasilkan sesuatu yang berarti. 

Rasanya menyedihkan melihat orang lain telah membuat pencapaian sementara dirimu hanya melihat beranda sosial media sambil rebahan.

Aku merasa bahkan lebih kerdil dari partikel debu kosmik. Aku juga bahkan minder pada ayam yang lagi nyari makan.

Tidak bisa tidak, segera aku menghapus aplikasi Instagram, Facebook, Twitter dkk. Ini keputusan yang berat kau tau? Awalnya sulit sekali, menemukan telepon pintar di pagi hari tanpa Instagram dkk yang enggak pernah absen diperiksa. 

Tapi ternyata dampaknya juga sebanding, seorang video produser bernama Emma Fierberg mengatakan lebih baik pasca melakukan puasa sosmed.

“Aku tidak lagi merasa pusing, aku tidak merasa lelah sepanjang waktu. Selama eksperimen berlangsung aku mulai merasa bahwa ada jam lebih dalam sehari untukku membaca, memasak, dan berolahraga," ujar Emma dalam video yang dirilis Tech Insider.

Sebuah rongga kelegaan tercipta di jiwaku setelah aku  melakukan puasa sosmed. Aku merasa lebih baik saat tidak lagi membandingkan diriku dengan orang lain. 

Alih-alih memegang gawai seharian, aku melangkahkan kaki ke luar kamar menuju dapur kemudian memasak. Dilanjutkan dengan membaca buku, menulis puisi dan melakukan aktifitas self-love. 

Puasa sosmed awalnya memang tidak menyenangkan, namun jika kamu mulai bisa menaruh gawaimu lalu kembali ke dunia nyata dan berinteraksi, banyak hal yang bisa kamu lakukan. Dimulai dengan menulis perasaanmu di buku tulis mungkin?