Minggu, 11 Oktober 2020

Surat Hari Ini

Tadi malam niatku ke luar kosan hanya untuk membeli rokok, karena setelah makan dan tidak merokok rasanya kurang pas. Aku bahkan berjanji pada teman lelakiku akan menelepon kembali sepulang dari warung. 

Di perjalanan dari warung menuju kost, otak ini berkecamuk. Akhirnya laju motor kuarahkan menuju basecamp kawan-kawan.

Di jalan, aku menimbang segala Sesuatu. Aku kembali menanyakan kepada diriku sendiri mengapa aku menyemplungkan diri begitu serius ke dalam gerakan kali ini. 

Mungkin ini adalah klimaks dari setiap onani pikir yang harus aku tanggung jawabi. Aku menyadari begitu besar beban menjadi makhluk intelektual lalu ingin menjadi kangkung saja. 

Alangkah beban saat mengetahui persis antara benar dan salah. Pengetahuan lantas menjadi kehinaan atas diri sendiri ketika tahu, lalu mengambil sikap diam berpangku tangan. Sementara dua tangan dan kaki mampu berupaya. 

Di detik menulis ini, aku merasa amat lelah. Itu juga yang kulihat dari pejuang demokrasi yang membersamai gerakan ini. Kami kurang cukup tidur, miskin dan mengetepikan banyak prioritas pada hari-hari biasa.  

Jiwa dan raga kami begitu lelah. Tapi kuharap itu tidak menyurutkan gerak progresif. Walau kini sedang tertatih.  

Bagiku pribadi, nyaris tidak ada keuntungan yang kudapat pasca demonstrasi gelombang pertama kemarin. Karena aku bukan politis yang mengambil peluang dalam momentum ini. Usah akan berkecimpung, berurusan dengan elit politik saja aku malas. 

Satu keberuntungan yang membuatku menjadi orang paling mujur ialah, bertemu orang-orang yang tidak menari di atas darah saudara seperjuangan. Mereka bergerak progresif tanpa tendensi. 

Tapi sekarang kami dalam keadaan lelah. Untuk sekadar bernapas saja sungguh berat. Kami bergerak berjuang menggunakan pakaian lusuh berdebu yang lekat entah sudah berapa hari. Pun, setelah aksi ini selesai pakaian kami akan tetap lusuh. Bertambah dengan bermacam tambalan sisa perang. 

Aku tidak berhenti menanyai diri sendiri. Mengapa mesti menyemplungkan diri ke dalam sini. Aku semester 13, harusnya aku fokus mengerjakan tugas akhir sambil menyeruput kopi, sembari menggilas camilan di tengah malam. 

Jika dipikir-pikir, aku ini sungguh tidak mendapati keuntungan apa pun setelah aksi hari esok, selain pengalaman melelahkan disemprot Water Cannon atau gas air mata. Hal yang tidak membahagiakan untuk layak disebut keberuntungan. 

Lalu aku membayangkan, adikku, atau generasi orang yang aku kasihi. Mereka bangun di Senin seperti Senin biasanya dan pergi bekerja. Pulang dalam keadaan energi habis, beras menipis dan satu-satunya kekayaan yang patut disyukuri adalah, masih ada air untuk membasuh letih. 

Namun negara ini begitu tamak. Untuk urusan air juga diintervensi. Lahan-lahan adat dibabat demi percepatan ekonomi. Entah ekonomi siapa sebab bukti nyata potret industri yang telah berdiri, tidak mampu meng-cover masyarakat yang lahannya didirikan lokasi produksi. Mereka masih saja susah dan berusaha tabah agar hati tidak begitu terluka.  

Oh, Iya, perihal air. Bagaimana saat Omnibus Law bekerja, korporasi akan semakin mudah merebut kepemilikan lahan dan menjadikannya lokasi industri, tanpa menggubris pertimbangan dampak lingkungan. Jangan katakan ini ilusi. Sebab di sudut desa di provinsi ini telah diberikan hak guna usaha kepada perusahaan tambang batu bara yang daerah operasi di hulu sungai. 
 
Aku tidak ingin menggiring opini, silahkan pikir sendiri dampak dari perselingkuhan antara pemerintah dan korporasi. Pemerintah hidup layak dari uang rakyat yang didapat dengan cara bertungkus lumus bermandikan keringat. Harusnya menggunakan hati nurani dan memihak rakyat, malah  bikin kebijakan dengan tedeng aling-aling rakyat. Ternyata kebijakan itu berat pada korporasi. Sungguh alasan demi restu publik yang dibuat-buat. 

Aku lelah, aku ingin hari-hari normalku kembali. Aku ingin kembali menyukai seseorang tanpa beban akan sesuatu yang belum usai. Kali ini, mari lebih serius hingga tujuan bukan lagi utopia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar