Sebagian mahasiswa Riau sedang masif menggodok isu pertambangan batu bara yang bakal berdiri di Kabupaten Kampar, sebagian lainnya pun masif mengusahakan mematangkan diri menjadi Individual Corporate Warrior.
Segala tindakan seyogyanya bakal dimulai dari pertanyaan "mengapa"
Banyak alasan mengemuka yang saya lihat ketika lingkaran publik pertama kali dibuka. Entah itu karena tanggung jawab intelektual, memperjuangkan 'sesuatu', atau panggilan moral.
Dari alasan individual semacam itu. Dapat diurai benang kusut yang lebih menyentuh banyak pihak.
Pertanggungjawaban.
Bukan skeptis dan euforia pergerakan di atas alasan ini, tak cuma mahasiswa kaum intelektual, ibu saya dan ibu kamu juga sepakat bahwa telah jamak sikap tidak bertanggungjawab yang telah dilakukan perusahaan dan pemerintah kita. Kita bisa cek data, berapa lubang galian tambang yang tidak direklamasi, berapa manusia meregang nyawa karenanya? Dan statement lepas tangan dari pihak yang seharusnya membenahi apa yang telah dirusak.
Dirusak? Tentu saja! Kanagarian Pangkalan Kapas dan Rantau Kampar Kiri merupakan hulu Daerah Aliran Sungai Subayang, dan DAS Bio yang melintasi beberapa desa yang mana sungai adalah bagian dari keseharian masyarakat tempatan.
Bagi teman-teman yang pernah menjenguk wilayah Kampar Kiri pasti sepakat dengan keindahan alam dan jernih airnya. Tidak jarang kegiatan luar ruangan mahasiswa seperti outbond dan berkemah dilaksanakan. Saat berendam di air dengan ketinggian se-dada orang dewasa, kita bisa dengan jelas melihat kaki kita berpijak pada bebatuan sungai.
Penambangan dengan melubangi bumi menyebabkan erosi, pendangkalan sungai dan perusakan kualitas air dengan senyawa yang terdapat pada batu bara. Dan maaf saja, tidak akan lagi kita temui air jernih saat berkemah di pinggiran sungai.
Dari aspek sosial-budaya sekitarnya kita semua telah khatam memahami ini rasanya. Ada efek domino menyentuh kita semua apabila tambang milik PT Buana Tambang Jaya ini merangsek masuk ke ruang hidup seluas 3000 H.
Perizinan diberikan pemerintah guna melanggengkan beberapa PLTU di Riau beroperasi. Guna pemenuhan kebutuhan listrik kita-kita juga katanya. (industri adalah bagian dari kita juga)
Industri tidak mandiri yang memiliki kantung tebal memerlukan listrik untuk operasional mereka, untuk pasar. Yaaa~ untuk kita-kita juga.
Segala partikel difitnah. Dengan bahasa "Demi kepentingan bersama"
Bicara PLTU lebih ngeri lagi, mudharat yang dilahirkan bakal menjamah kita semua, saya sedang tidak memfitnah kamu. Hanya saja, selagi tubuh masih menghidu udara di Pekanbaru dan wilayah-wilayah sekitar, partikel debu keluaran pembakaran batu bara yang dihasilkan PLTU meringsek masuk ke paru-paru, menyebabkan kanker paru-paru.
Lantas, jika tujuannya pemenuhan energi. Mengapa tidak menggunakan cara yang lebih ramah lingkungan dan ramah manusia?
Pembangkit listrik tenaga angin? Tenaga matahari?
Sebab uang pelumas industri ini bukan seperak dua perak!
Dan bukan hanya pada Kabupaten Kampar saja, Pertambangan serupa bakal menjamah Kabupaten lain di Provinsi Riau, belum lagi isu geothermal yang menurut kabar saat diskusi dengan Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) regional Sumatera Barat juga bakal permisi masuk ke bumi lancang kuning.
Perihal pertanggungjawaban yang sudah barang tentu menjadi amunisi pihak berkepentingan, mari kita menjenguk luka yang pernah terjadi. Berapa kali dipecundangi bahasa "Akan" "Bakal" dan "Kami pasti" bertanggungjawab dan mengganti kerugian?
Saya amat menghindari perilaku menuturi.
Bisa jadi, kamu telah lebih dahulu khatam perihal narasi pertambangan dan perusakan lingkungan. Sebagai manusia saya tak henti-henti mengingatkan.
Isu ini tidak sedekat pertanggungjawaban dan ganti rugi.
Sebab mencegah lebih baik daripada mengobati.
Tabik.