Dik, andai engkau anak petani, saat ini kau harusnya sedang menghitung uang hasil penjualan ubi tadi pagi.
Jika kau anak politisi, mungkin kau sedang berfikir tentang cara mengaji undang-undang yang menguntungkan kaum pemilik uang.
Mungkin, jika kau anak seorang polisi kau sudah dalam mimpi, tidur lebih awal dalam rangka pendisiplinan diri.
Tapi kau bukan anak politisi, polisi atau petani.
Aku lihat kau sedang duduk di sudut toko menghisap lem hingga teler.
Siapa ayah dan ibumu?
Jalanan itu kejam, Dik. Pulanglah.
Mandi kemudian basuh tubuhmu dengan sejuknya air sumur.
Dik, apa rasanya nikmat? Hingga kau rela menadahkan tangan berdusta bahwa kau kelaparan?
Apa lem itu bisa mengantarkan kau ke surga? Kalau ya, sini kakak hendak coba.
Apa sebegitu sulitnya mendapatkan bahagia? Kau suka? Lem cap kambing itu.
Tatapan dari mereka menakutkan bukan? Seolah kalian makhluk berkaki empat yang sering mereka umpat, biar saja mereka adalah manusia yang sedang berakting menjadi hakim, jangan tersinggung.
Omong-omong jika kalian anak petani kalian punya lahan?
Apa sepetak lahan kering berdebu bisa menumbuhkan barang sebatang pohon singkong?
Hmmm, tak apalah, jangan sedih sebab tak bisa bertani, kalian kan bisa pergi menuju mall menghibur diri.
Dik, sini kakak bisikkan, mall yang sekarang berdiri gagah di ujung jalan itu, dulunya tanah milik kalian.