Senin, 27 Agustus 2018

Tawa Lekat di Besi Berkarat

Bulan bundar
Bianglala berputar
Dopamin menguar
Malam itu sebenarnya tubuh kami telah cukup lelah. Otak kami sudah memvisualkan kasur untuk segera menghenyakkan badan melemaskan otot.
Namun cerita malam itu berubah, Ayun, temanku mengajakku ke pasar malam yang berlokasi tak jauh dari kontrakan kami.
Padahal kami sama-sama lelah. Ia pun sudah seharian beraktivitas di luar ruangan.
Sementara aku pun lelah. Lelah nggak ngapa-ngapain. Hahahhaa.
Setiba kami di pasar malam milik kelompok Lotare Bogor Jaya ini, kami duduk barang sebentar di warung kecil milik pedagang. Menyesap minuman cokelat yang manisnya over sugar.
Kami memang datang terlalu cepat, wahana-wahana belum banyak yg beroperasi. Hanya komidi putar untuk bocah-bocah yang aktif bergerak kala itu.
Sambil meminum cokelat kami kami sedikit bernostalgia. Tentang jaman SD dahulu. Ayun dan aku memang berasal dari Kabupaten yang sama. Kabupaten Pelalawan.
Kami bercerita, bagaimana dulu mengunjungi pasar malam adalah kebanggaan bagi anak desa yang belum mengenal gegap gempita gadget dan teknologi. Bagaimana tidak, dulu belum ada listrik yang mengaliri desa kami, hanya ada PLTD (pembangkit Listrik Tenaga Diesel) yang nyala pukul 18.00 dan padam pukul 12.00.
Bertolak ke pasar malam, menaiki wahana-wahana ialah kebanggaan absolut. Yang seusainya, kami bisa pamer kepada teman sebaya di sekolah esok hari. Bukan sembarang pasar malam. Pasar malam yang bergengsi adalah pasar malam yang memiliki wahana rumah hantu. Dan tingkat kekerenan akan berbanding lurus saat telah mencoba wahana tersebut.
Siapa yang memasuki wahana itu niscaya esoknya akan sesumbar, mengatakan mereka tidak takut barang secuil kuku.
Yaaa.
Mereka mengompol di dalam juga siapa tau?
***
Tidak merogoh kocek terlalu dalam, wahana di sini rata-rata seharga Rp.5000. Lebih murah dari uang pulsa dan minuman cokelat kami yang dibanderol Rp.8000. Gila! Nyari kesempatan banget, pikir kami.
Kami memutuskan untuk naik kora-kora. Bermodal uang Rp.5000 per orang kami naik wahana itu. Sengaja duduk paling ujung, katanya paling ujung ialah tempat yang paling mendebarkan.
Tidak ada safety belt. Pengaman juga hanya seadanya, cenderung tidak aman menurutku. Tempat duduk berkarat. Jelas tidak sehat. Belum lagi asap mesin diesel penggerak wahana itu yang meringsek masuk ke lubang hidung. Belum naik aku sudah mual.
Wahana mulai bergerak. Ke atas dan ke bawah. Adrenalin mulai bekerja. Kami berteriak. Semakin tinggi semakin kencang teriakkan kami.
Stress kami hari itu terbuang bersama suara yang kami bunyikan.
Tidak megah, jauh dari kesan mewah, tua dan berkarat.
Namun siapa nyana, lelah kami hilang sebentar malam itu. Barulah pada  malam harinya Ayun tidak bisa menggerakkan tangan karena nyeri pada kedua lengannya.
Namun kami pulang dalam keadaan bahagia. Sisa-sisa tawa dan nostalgia kami merekat pada besi berkarat Pasar Malam Lotare Bogor Jaya.