Jumat, 30 Maret 2018

Hai

Hai, apa kabar?
Aku mau tanya?
Apa perasaan itu tetap sama.
Aku pikir, banyak yang berbeda, di aku. Dan di kamu juga.
Kalau kamu tanya kenapa aku beda, sebenarnya kamu tau jawabannya. Aku nggak lagi aku yang dulu. Yang kamu kenal. Yang suka mengekspresikan apapun yang dia rasain.
Aku yang sekarang banyak keragu-raguan. Dan aku nggak suka itu.
Kamu juga berubah, gak lagi sama.
Berbeda. Maksudku, bukan lagi orang yang dulu aku kenal. Perlahan seperti ada jurang diantara kita. Dan itu dalam.
Aku sampai ngilu membayangkannya.
Hai, aku tau kamu pasti sedih akan perubahanku. Begitu pula aku.
Tapi, kamu ga akan pernah tau. Kalau aku sedih. Aku yang sekarang pandai menyembunyikan perasaan.
Kalau kamu baca ini, aku pingin kamu tau, aku rindu. Rindu kita yang dahulu.
Aku sebenarnya pingin ngetik panjang lebar. Tapi aku capek dan ngantuk.
Selamat malam.

Rabu, 14 Maret 2018

Dialog Warung Kopi


Menghilangkan hakikat kopi.
Tak pekat sepekat rindu
Tak pahit sepahit cerita hidupku
Dengan susu atau rindu itu pilihanmu. Dengan lancang kau berfatwa, di hadapan kopi berwarna yang kau hina-hina. Kulihat kau seperti pria yang hanya memuja selaput dara.
Ku pesan kopi susu di kedai itu, tapi waktu datang tak terlihat seperti kopi bahkan susu, lebih terlihat minuman jus yang dulu dia anggap paling maknyus. Menghilangkan hakikat kopi yang ampasnya mengendap banyak dbawah, bukan di sekitar mulut penjaga kasir yang katanya mewah.
Sudi kau terima aku di mejamu? Kutunjukkan potret kabut pagi. Lalu pengemis tanpa gigi. Lalu perempuan loper koran yang kehausan. Ketimbang kau mencaci gelasmu, sini hibahkan untukku. Kerongkonganku sudah kering sejak tadi.
Tak apa ambillah gelas itu beserta isinya, tenggorokanku terlanjur muak dengan airnya. Aku lebih pilih beranjak pindah ke warung sebelah, mencari hakikat kopi yang secocok dengan hati, yang membuatku lebih mengerti, yangmembuatku mengusir sepi.
Sarkasmu, seperti kau akrab berdialog dengan kopi. Angkuhmu seakan ampas kopi tamam kau cumbui. Manusia semacam kau kerap aku tatap. Di Cerminku, lima tahun lalu.
Tak kusadari aku menghamba pada cangkir kopi, aku berdoa dalam seruputnya, dan aku bersyukur dalam habisnya. Entah otakku yang terlanjur terdoktrin oleh kafein itu, atau memang hakikatnya yang memang buatku candu.
Riau-Jogjakarta , 2018