Minggu, 15 Januari 2017

Yuk Nulis

Menulis

Aku ingat karya pertamaku ketika kelas 6 Sekolah dasar, aku menulis cerita pendek yang hanya dibaca oleh teman sebangku kala itu, berawal dari teman sebangku kemudian teman satu kelas yang lain mengapresiasi tulisanku, waktu itu aku tidak mengenal kata apresiasi, yang aku tau hanya perasaan bangga saat mereka menantikan tulisanku selanjutnya.
" Ayo Put mana lagi ceritanya"
" besok buat lagi ya "

Waah, bukan main senangnya Putri kecil saat itu. Hal yang paling susah dari menulis adalah memulainya, dan memulai kembali. Alasan demi alasan hadir untuk menunda kebiasaan baik, sudah biasa.
Alasanku mati suri dalam menulis adalah kurangnya kritik, malas dan.. kuota internet.

Sebenarnya, alasan yang terakhir hanya dibuat-buat  saja, ada niat ada jalan to.
Rasa malaslah yang paling mendominasi serta bujuk rayu iblis yang lebih kencang dari keinginan melaju lebih jauh.
Mungkin sekarang dia sedang berkata ( kampret gue diomongin )
Kurangnya kritik menjadikan aku lebih down , kenapa ?
Karena tanpa kritik aku bisa apa ?
Karya mana yang lahir tanpa adanya bantuan dukun kritik, semakin handal dukun kritiknya maka akan semakin hebat karya yang dilahirkan selanjutnya.

Tolong antarkan aku ke dukun terdekat...

Kegalauan lain mahasiswa seperti saya ialah tidak pede, takut nanti ada suara sumbang,
" halah gitu aja kok dibilang karya"

Orang-orang seperti ini harus dicabein mulutnya. Mbok ya menghargai gituloh ,
Jika saja kami-kami ini lebih berani menangkis kritik , dan andai saja lisan mereka lebih menampilkan kritik daripada hinaan, maka optimis saja Indonesia kita memiliki  buaaaanyakk generasi muda yang kreatif.

Hargai setiap karya, tulisan ini juga karya to ?  Aku hanya ingin nanti anak cucuku menghidupkan aku kembali dengan membaca karya ini. Meskipun hanya tulisan kegalauan karena cinta, hanya dikemas dengan bahasa sederhana cenderung miskin pembenaharan kata. Aku akan tetap bangga.
Manusia yang tidak menghargai manusia lainnya, tidak layak disebut manusia.